Diberdayakan oleh Blogger.

You can replace this text by going to "Layout" and then "Page Elements" section. Edit " About "

Minggu, 10 April 2016

Faktor-Faktor Penyebab Terjadinya Masalah-Masalah Lingkungan



Studi Kasus Permasalahan Lingkungan:



Bahan kuliah Makalah hukum lingkungan "kantong plastik berbayar'
Bahan kuliah Slide Presentasi Manusia dan Lingkungan



Faktor-Faktor Penyebab Terjadinya Masalah-Masalah Lingkungan.

Para sarjana tidak mempunyai pandangan yang sama tentang sebab-sebab timbulnya masalah-masalah lingkungan. Berdasarkan sudut padang para sarjana, maka setidak-tidaknya ada lima faktor yang melatarbelakangi timbulnya masalah-masalah lingkungan, yakni teknologi, penduduk, ekonomi, politik dan tata nilai moral, keagamaan serta budaya.








1. Teknologi.

Barry Commoner dalam bukunya “the Closing Circle” melihat bahwa teknologi merupakan sumber terjadinya masalah-masalah lingkungan. Terjadinya revolusi di bidang ilmu pengetahuan Alam misalnya fisika dan kimia, yang terjadi selama lima puluh tahun terakhir, telah mendorong perubahan-perubahan besar di bidang teknologi. Selanjutnya hasil-hasil teknologi itu diterapkan dalam sektor industri, pertanian, trasportasi dan komunikasi. Berdasarkan pengamatan di Amerika Serikat, Commoner menunjukkan terjadinya masalah lingkungan, terutama pencemaran lingkungan meningkat setelah Perang Dunia II. Ia memberikan contoh-contoh sebagai berikut, bahwa pospat antara 1940-1970 naik tujuh kali lipat atau sekitar 300 juta pound per tahun, nitrogen oksida, yang berasal dari kendaraan bermotor, mencapai 650 persen, lead, yang berasal dari premium, mencapai 415 persen, merkuri, yang berasal dari industri, mencapai 2.100 persen, pestisida sintetis mencapai 270 persen, pupuk nitrogen unorganik mencapai 789 persen. Menurut Commoner, sebelum Perang Dunia II, zat-zat pencemar tersebut di atas sama sekali tidak ada. [1] Richard Stewart and James E. Krier, Environmental Law and Policy, (New York: The Bobbs Merril Co. Inc., Indianapolis, 1978), hlm. 37-42


2. Pertumbuhan Penduduk.

Ehrlich dan Holdren menekankan, bahwa pertumbuhan penduduk dan peningkatan kekayaan memberikan sumbangan penting terhadap penurunan kualitas lingkungan hidup. Mereka menolak pandangan Commoner bahwa pengembangan dan penerapan teknologi baru ke dalam berbagai sektor yang dimulai pada tahun 1940 sebagai penyebab terjadinya masalah-masalah lingkungan.
Ehrlich dan Holdren berpendapat bahwa jauh sebelum teknologi maju dikembangkan seperti apa adanya dewasa ini, bumi, tempat hidup manusia ini, telah mengalami bencana lingkungan. Meraka menunjukan beberapa contoh, yakni terjadinya gurun pasir di lembah Sungai Euphrate dan Sungai Tigris, yang pada zaman sebelum masehi terkenal sebagai kawasan subur. Terjadinya kerusakan pada kawasan yang semula subur itu disebabkan oleh sistim irigasi yang gagal dan pembukaan lahan yang terus menerus akibat pertumbuhan penduduk sehingga semakin luas lahan pertanian berdasarkan sistim irigasi. Di kawasan-kawasan yang curah hujannya rendah, kegagalan pengelolaan irigasi seringkali menimbulkan masalah-masalah lingkungan hidup yang serius, yaitu terjadinya masalah salinisasi (peningkatan kandungan garam di tanah). Kawasan-kawasan yang curah hujannya rendah mengalami tingkat penguapan yang tinggi, sehingga telah menyebabkan kekeringan irigasi. Kekeringan air irigasi sangat potensial menyebabkan terjadinya gurun pasir. Terjadinya kegagalan irigasi tidak saja dihadapi oleh negara-negara berkembang, tetapi juga negara-negara maju. Misalnya Lembah Imperial di California, A.S. yang terpaksa di tinggalkan oleh para petani yang semula tinggal dan mengelola kawasan tersebut karena lahan-lahan di kawasan itu kandungan garamnya meningkat sehingga kesuburan lahan menurun.

Ehrlich dan Holdren juga melihat bahwa usaha peternakan yang berlebihan dan praktek usaha pertanian yang salah telah menyebabkan terjadinya malapetaka lingkungan, yakni terjadinya gurun pasir. Contoh nyata adalah semakin meluasnya Gurun Sahara di Afrika Utara. Terjadinya perluasan Gurun Sahara dikarenakan usaha peternakan yang telah melampaui dayadukung lingkungan (carrying capacity). Di banyak tempat di Benua Eropah, Asia, dan Afrika telah terjadi penggundulan hutan (deforestration), penggembalaan ternak besar-besaran dan pertanian yang salah pada Zaman Pra Industri yang telah mengakibatkan terjadinya erosi tanah. Pada akhirnya, erosi tanah ini dapat mengakibatkan terjadinya gurun atau padang pasir.[2]Ibid., hlm. 45-49


3. Motif Ekonomi.


Hardin dalam karya tulisnya “The Tragedy of the Commons” melihat bahwa alasan-alasan ekonomi yang seringkali menggerakkan perilaku manusia atau keputusan-keputusan yang diambil oleh manusia secara perorangan maupun dalam kelompok, terutama dalam hubungannya dengan pemanfaatan common property. Common property adalah sumber-sumberdaya alam yang tidak dapat menjadi hak perorangan, tetapi setiap orang dapat menggunakan atau memanfaatkannya untuk kepentingan masing-masing. Common property itu meliputi sungai, padang rumput, udara, laut. Karena sumberdaya itu dapat dan bebas untuk dimanfaatkan oleh setiap orang untuk memenuhi kebutuhannya masing-masing, maka setiap orang berusaha dan berlomba-lomba untuk memanfaatkan atau mengeksploitasi sumberdaya semaksimal mungkin guna perolehan keuntungan pribadi yang sebesar-besarnya. Setiap orang berfikir, bahwa kalaupun ia berusaha menggunakan sumber daya secara bijaksana hal itu akan sia-sia saja karena orang lain tidak berfikir dan berbuat demikian, sehingga orang yang pada mulanya memikirkan upaya konservasi atau perlindungan sumber daya alam akan merasa kehilangan motivasi untuk melakukan upaya-upaya konservasi. Pada akhirnya tiap orang berfikir egoistis dan berpacu untuk mengeksploitasi sumber daya alam yang mengakibatkan pe nurunan kualitas dan kuantitas sumberdaya alam. Pada akhirnya semua orang atau masyarakat secara keseluruhan yang akan menderita kerugian. Jadi adanya kebebasan untuk mengeksploitasi sumberdaya alam akan membawa kehancuran bagi masyarakat. Keadaan inilah yang oleh Hardin disebut dengan “tragedy of the commons”.[3]Gareet Hardin, 1997, "The tragedy of the Commons" Library of Congress, hlm. 16.

4. Tata Nilai

Sebagian pakar berpendapat bahwa timbulnya masalah-masalah lingkungan disebabkan oleh tata nilai yang berlaku menempatkan kepentingan manusia sebagai pusat dari segala-galanya dalam alam semesta. Nilai dari segala sesuatu yang ada di alam semesta dilihat dari kepentingan manusia semata. Tata nilai yang dimiliki ini dikenal dengan istilah anthropocentric atau homocentric. . Berdasarkan kaidah antroposentris, alam semesta atau lingkungan hidup dilindungi semata-mata untuk kepentingan manusia. Sumberdaya alam yang terdapat dalam alam semesta dipandang sekedar sebagai objek untuk pemenuhan kebutuhan manusia yang tidak terbatas.
Berdasarkan wawasan pandang antroposentris, manusia bukanlah bagian dari alam. Selanjutnya, manusia diciptakan oleh Sang Pencipta untuk mengatur dan menaklukan alam. Kaidah-kaidah yang berlaku di masyarakat manusia tidak berlaku terhadap benda-benda alam atau mahluk alam lainya, seperti hewan dan pohon-pohonan. Dengan demikian, wawasan antroposentris menimbulkan dualisme antara manusia disatu pihak dan alam semesta dipihak lain. Oleh sebab itu, eksploitasi terhadap alam semesta, harus dilihat sebagai perwujudan kehendak Tuhan. Manusia pada dasarnya diciptakan oleh Tuhan untuk menguasai dan menaklukan alam.
Wawasan pandang antroposentris itu telah mendapat tantangan dari kalangan aktivis gerakan lingkungan (environmentalists) karena dua alasan. Pertama, manusia adalah bagian dari alam. Manusia hanyalah merupakan satu di antara spesies organis yang hidup dalam suatu sistem yang saling tergantung. Oleh sebab itu, perlu dipertahankan berlakunya wawasan pandang yang melihat semua unsur-unsur dalam alam semesta sebagai suatu kesatuan. Kepedulian manusia seyogianya tidak hanya terbatas pada diri manusia saja, tetapi juga diperluas meliputi makluk-makluk lain dalam alam semesta. Kedua, hewan-hewan sebagai makhluk alam yang–seperti manusia–juga mempunyai rasa sakit seharusnya diakui haknya sebagai suatu kaidah moral manusia.
Salah satu di antara kaum moralis ekologis yang mengusulkan perlunya suatu perubahan wawasan pandang antroposentris adalah Aldo Leopold. Leopold mengusulkan perlunya pengembangan kaidah etik baru yang bersifat holistik. Kaidah itu berlaku bagi suatu komunitas biotik yang meliputi semua makhluk yang punya rasa sakit dan nikmat. Kebutuhan dan kepentingan tiap-tiap makhluk merupakan dasar penentuan dari baik atau tidaknya suatu tindakan. [4]Enviromental philosophy, The Pennsylvania State University Press, 1983, hlm. 109.

Read more...

Jumat, 04 Maret 2016

Jurisprudence dan Ilmu Pengetahuan (Sains)

            
https://www.fotolia.com/id/48617361
           Dalam bahasa Inggris ilmu hukum disebut secara tepat sebagai Jurisprudence dan bukannya the science of law atau legal science, untuk suatu disiplin yang pokok bahasannya adalah hukum. Istilah jurisprudence berasal dari bahasa iuris, yang merupakan bentuk jamak dari ius, yang artinya hukum yang dibuat oleh masyarakat dan kebiasaan dan bukan perundang-undangan dan prudentia, yang artinya kebijaksanaan atau pengetahuan. Jurisprudence, dengan demikian berarti kebijaksanaan yang berkaitan dengan hukum atau pengetahuan hukum.
            Hal tersebut dikarenakan, secara etimologis, kata “law” dalam bahasa Inggris mempunyai dua pengertian, yaitu serangkaian pedoman untuk mencapai keadilan dan merujuk kepada seperangkat aturan tingkah laku untuk mengatur ketertiban masyarakat.
           Perbedaan rujukan terhadap pengertian “law” akan menghasilkan perbedaan dalam pendekatan secara teoretis terhadap hukum. Istilah “law” yang secara umum dipakai dalam bahasa Inggris secara etimologis berasal dari kata “lagu”, suatu kata dalam garis lex dan bukan garis ius, yang digunakan untuk menyebut aturan-aturan yang dikodifikasikan oleh raja-raja Anglo-Saxon. Lagu ternyata berada dalam garis lex dan bukan ius. Apabila hal ini diikuti, istilah  legal science akan bermakna ilmu tentang aturan perundang-undangan. Hal ini akan terjadi ketidaksesuaian makna yang dikandung dalam ilmu itu sendiri. Disinilah titik argumentasi akan ketidaktepatan penggunaan istilah the science of law maupun legal science.
      Ilmu Pengetahuan atau Sains lekat dengan empirisme dan metode ilmiah. Pembuktian-pembuktian yang memenuhi tuntutan indrawi secara empiris harus dipenuhi dalam sains. Hubungan kausalitas sangat memainkan peranan penting dalam logika ilmu pengetahuan. Sebuah proposisi akan sebuah hal akan menyebabkan timbulnya proposisi yang lainya.
      Dengan demikian, ilmu pengetahuan atau sains berciri adanya prinsip kausalitas yang mendominasi dalam operasi proposisi-proposisinya. Emperisme sangat kental dalam dasar-dasar pengukuran akan sebuah proposisi. Pengujian (verivikasi) dan penarikan kesimpulan dengan menggunakan induksi (metode ilmiah).
         Jurisprudence dapat didefinisikan secara luas sebagai semua yang bersifat teoretis tentang hukum. Jurisprudence juga berarti metode studi hukum dalam arti umum. Studi tersebut bukan mengenai hukum suatu negara pada suatu waktu tertentu. Di samping itu, jurisprudence sebenarnya bukan sekedar studi hukum, melainkan lebih dari itu merupakan studi tentang hukum.
            Untuk mendapatkan pengertian ilmu hukum, perlu diingat ungkapan lama quot homines, tot sententiae. Dalam bahasa Inggris, ilmu hukum disebut jurisprudence. Akan tetapi ada beberapa penulis berbahasa Inggris menyebut ilmu hukum sebagai the science of law atau legal science.
            Salmond, misalnya menyatakan: “If we use the term science in its widest permissible sense as including the systematized knowledge of any subject of intellectual enquiry, we may define jurisprudence as the science of civil law”. Begitu juga Keaton. Menurutnya, “the science of jurisprudence may be considered as the strictly and systematic arrangement of the general principles of law”. Sama halnya Roscoe Pound menyatakan “jurisprudence is the science of law, using the term law in the judicial sense, as denoting the body of principles recognized or enforced by public or regular tribunals in the administration of justice”.
        Di dalam Webster Dictionary, kata science berarti knowledge or a system of knowledge covering general truths or the operation of general laws especially as obtained and tested through scientific method. Selanjutnya, kamus itu menyebutkan bahwa such knowledge or such a system of knowledge concerned with the physical world and its phenomena: NATURAL SCIENCE. Dengan berpegang kepada kamus itu, tidak dapat disangkal bahwa kata science memang merujuk kepada tidak lain dari pada ilmu alamiah. Jenis ilmu ini hanya dapat diperoleh melalui metode ilmiah atau scientific method. Sedangkan mengenai scientific method, Webster mendefinisikan sebagai principles and procedures for the systematic pursuit of knowledge involving the recognition and formulation of a problem, the collection of data through observation and experiment, and the formulation and testing of hypotheses.
            Francis Bacon adalah orang yang pertama kali memformulasikan metode ilmiah. Meskipun dilakukan beberapa perbaikan, rumusan Bacon itu dapat diterima oleh para ilmuwan sejak abad XVII. Para ilmuwan mulai dengan melakukan eksperimen yang tujuannya untuk mengamati gejala-gejala secara cermat dan teliti. Selanjutnya, para ilmuwan itu merekam apa yang mereka temukan, menganalisisnya, dan mempublikasikannya. Dengan berjalannya waktu, mereka bekerja sama dengan para koleganya dari bidang studi yang sama dan mengumpulkan temuan-temuan itu sebagai data yang dapat dipercaya. Dalam suatu situasi semacam itu, para ilmuwan tidak mulai dengan menyusun hipotesis, melainkan mereka mulai dengan melakukan observasi.
Semakin banyak data terkumpul, semakin banyak gejala ilmiah terungkap.
           Niat para ilmuwan adalah menjelaskan gejala-gejala alamiah secara ilmiah. Kegiatan semacam ini dimulai dengan menyusun hipotesis dan bukan dengan melakukan pengamatan terhadap gejala-gejala yang ada. Hipotesis adalah suatu praduga yang bersifat tentatif yang dibuat untuk menarik kesimpulan dan menguji sesuatu yang bersifat empiris.
          Auguste Comte dipandang sebagai pendiri positivisme. Ia membedakan tiga tahap besar evolusi pemikiran manusia. Tahap pertama adalah tahap theologis. Pada tahap ini semua gejala diterangkan dengan merujuk kepada kausa yang bersifat supranatural dan campur tangan sesuatu yang ilahi.
·        Tahap kedua adalah tahap metafisika.Di dalam tahap ini pikiran dikembalikan kepada prinsip-prinsip dan gagasan-gagasan yang mendasar yang dipandang berada di bawah permukaan yang membentuk kekuatan nyata dalam evolusi manusia.
·        Tahap ketiga, yaitu tahap terakhir adalah tahap positif. Tahap ini menolak semua konstruksi hipotetetis yang ada dalam filsafat dan membatasi diri kepada observasi empiris dan hubungan di antara fakta melalui metode yang digunakan dalam ilmu-ilmu alamiah.
            Sejak paruh kedua abad XIX, positivisme yang dikemukakan oleh Auguste Comte menjadi suatu pola ilmu-ilmu sosial. Sebagai seorang pengagum ilmu-ilmu alamiah, John Stuart Mill percaya bahwa ada hukum kausalitas yang mengatur manusia dalam hidup bermasyarakat sama halnya dengan dunia fisika. Dia menerapkan metode ilmiah kepada studi-studi sosial. Hal ini merupakan sesuatu yang pertama kali terjadi diterapkannya metode untuk ilmu-ilmu alamiah kepada ilmu-ilmu sosial. Oleh karena itulah tepatlah jika katakan bahwa apa yang dilakukan oleh Mill tersebut disebut “naturalistic” social science. Jika poitivisme begitu kuat mempengaruhi Mill dalam bidang ilmu sosial, pada ilmu hukum, pengaruh tersebut telah mempengaruhi John Austin..
            John Austin dipandang sebagai pendiri legal positivism. Dalam karyanya “Essays on Equality, Law, and Education”, John Stuart Mill menulis tentang Austin: “No writer whom we know had more of the qualities needed for initiating and disciplining other minds in the difficult art of precise thought”. Setelah mempelajari Hukum Romawi, Austin menjumpai betapa teraturnya Hukum Romawi dan betapa kacaunya Hukum Inggris. Austin kemudian membuat perbedaan yang tajam antara jurisprudence dan the science of ethics. Ia menyatakan bahwa “the science of jurisprudence is concerned with positive laws, or with laws strictly so called, as considered without regard to their goodness and badness.” Yuris, menurut Austin hanya berhubungan dengan hukum sebagaimana adanya. Sebaliknya, legislator dan filosof ethika berhubungan dengan hukum yang seharusnya. Hukum positif, menurut Austin tidak berkaitan dengan hukum yang ideal atau yang adil. Legal positivism didirikan sebagai suatu jawaban akan tuntutan ilmu pengetahuan modern dalam semangat anti metafisika. Doktrin hukum yang bersifat tradisional dianggap diselimuti oleh kabut metafisika. Ilmu pengetahuan modern, sebaliknya, memerlukan pengetahuan yang objektif. Suatu pengetahuan objektif adalah suatu pernyataan mengenai suatu gejala yang harus diverifikasi dan eksistensinya harus didasarkan pada fakta yang dapat diobservasi dan dikontrol. Austin mendeskripsikan hukum sebagai gejala yang dapat diamati. Dalam pandangan Austin, hukum terdiri dari perintah-perintah dan sanksi-sanksi yang diberikan oleh penguasa dan dipatuhi oleh setiap anggota masyarakat. Aspek normatif hukum dinyatakan dengan merujuk kepada aturan-aturan tingkah laku lahiriah. Bagi Austin, evaluasi terhadap aturan hukum merupakan sesuatu yang lain. Dengan demikian, Austin menulis tentang hukum dari perspektif sosiolog yang bebas nilai. Dengan menerapkan metode yang digunakan untuk ilmu-ilmu sosial, kaum positivis berpendapat bahwa suatu pernyataan yang dapat diverifikasi secara empiris itulah yang dikatakan sebagai pengetahuan sejati. Mereka menolak semua gejala yang berada dalam kategori nilai-nilai.
            Kaum positivis hanya berpegang kepada induksi yaitu dengan mengamati fakta empiris untuk memverifikasi hipotesis yang diajukan, melakukan inferensi, dan akhirnya menghasilkan teori eksplanatoris. Prosedur untuk mendapatkan pengetahuan empiris oleh kaum positivis dianggap telah menghasilkan hukum-hukum ilmiah yang bersifat umum dan seragam.
            Menurut Bernard Barber, prosedur semacam itu dapat diterapkan untuk ilmu-ilmu sosial. Ia menyatakan “Science is a unity, whatever the class of empirical materials to which it is applied, and therefore, natural and social science belong together in principle”. Lebih lanjut ia mengemukakan bahwa perbedaan antara ilmuilmu alamiah dan ilmu-ilmu sosial terletak pada tingkat perkembangannya dan tidak bersifat fundamental. Barber, kemudian mengemukakan adanya lima disiplin yang dapat dikategorikan ke dalam ilmu-ilmu sosial, yaitu ilmu ekonomi, ilmu politik, psikologi, sosiologi, dan anthropologi. Menurut Barber, suatu karakter yang esensial dalam semua ilmu sosial adalah ilmu-ilmu itu berkaitan dengan hubungan sosial di antara manusia, yaitu mereka berinteraksi satu dengan yang lain bukan hanya secara fisik melainkan juga atas dasar makna-makna yang disepakati bersama. Namun demikian ada dua hal yang perlu diperhatikan dalam menerapkan metode yang digunakan untuk ilmu-ilmu alamiah kepada ilmu-ilmu sosial.
            Pertama, gejala yang dihadapi oleh ilmuwan sosial tidak sama dengan gejala yang dihadapi oleh ilmuwan dalam ruang lingkup ilmu-ilmu alamiah. Objek telaahnya berbeda, yaitu ilmu-ilmu alamiah berkaitan dengan materi sedangkan ilmu-ilmu sosial mengenai manusia. Materi bereaksi terhadap rangsangan. Materi tidak memahami perilakunya sendiri dan tidak mempunyai keinginan subjektif. Materi tidak mempunyai makna sampai ilmuwan menjadikannya sesuatu untuk diperhatikan. Untuk memahami logika perilaku materi, seseorang harus mengamatinya. Sebaliknya, perilaku masyarakat mempunyai makna bagi masyarakat itu. Masyarakat menetapkan situasi mereka dan bertindak dengan cara-cara tertentu dalam mencapai tujuannya. Dalam melakukan hal itu mereka membangun suatu dunia sosial. Kehidupan sosial mempunyai kehidupan internal yang harus dipahami oleh ilmuwan sosial. Sebaliknya, ilmuwan dalam ruang lingkup ilmu-ilmu alamiah dapat menetapkan logika eksternal terhadap data yang ia peroleh. Pemahaman mengenai maksud subjektif manusia memerlukan pemahaman interpretatif dari teoretisi yang mengalami makna subjektif tersebut.
            Kedua, ilmuwan sosial tidak dapat mengalami pengalaman orang lain. Pengalaman pribadinya membuatnya memberi warna terhadap apa yang terjadi. Suatu contoh yang dapat dikemukakan di sini adalah persepsi Clifford Geerzt tentang dikhotomi masyarakat Jawa menjadi kaum santri dan abangan. Perspektif semacam ini tentu saja dipengaruhi oleh budaya di tempat ia dibesarkan. Sama halnya bukan orang Jawa yang suka melihat wayang tanpa mengerti makna wayang lalu mengambil kesimpulan bahwa orang Jawa suka perang.
            Didirikannya Law and Society Association dan jurnalnya Law & Society Review tahun 1960-an telah menyulut studi-studi hukum dari perspektif ilmu sosial. Sejak itu literatur-literatur mengenai hukum dan masyarakat berkembang dengan pesat. Objek-objek penelitian acap kali diarahkan pada topik-topik dampak hukum terhadap masyarakat tertentu, kepatuhan hukum masayarakat tertentu terhadap suatu aturan hukum tertentu, efektivitas aturan hukum dalam kehidupan bermasyarakat, dan hukum dan perubahan sosial. Hal ini telah mengubah pendekatan dari pendekatan tradisional yang berbicara mengenai doktrin-doktrin hukum ke arah pendekatan perilaku dengan cara menyoroti putusan-putusan pengadilan terbaru dalam rangka menjawab masalah-masalah dampak hukum terhadap masyarakat secara keseluruhan.
            Masalah pokok dalam penelitian semacam itu adalah menyelidiki lubang antara yang digagas oleh hukum dan apa yang terjadi di alam empiris. Hal ini berarti menjadikan studi hukum menjadi studi sosial. Menurut para pengikut pandangan itu, tugas ilmu hukum adalah menyelesaikan masalah-masalah sosial yang berkaitan dengan hukum dan bukan untuk menelaah hukum itu sendiri secara lebih mendalam. Dalam melaksanakan hal itu, tentu saja perlu dilakukan verifikasi empiris.
            Konsekuensinya, penelitian perlu diadakan untuk menyelesaikan masalah itu. Kecenderungan semacam itu amat dipengaruhi oleh ilmuwan sosial yang melakukan studi hukum dari perspektif mereka senditi. Implikasi dari hal itu adalah diperlukannya prosedur standar untuk melakukan studi hukum yang dipolakan menurut pola ilmu sosial. Dalam pengembangan ilmu hukum, sudah barang tentu juga harus mengikuti metode yang digunakan oleh ilmu sosial, yaitu melalui penelitian yang lazim digunakan dalam penelitian sosial. Oleh karena itu secara keliru setiap penelitian hukum dimulai dengan hipotesis sebagaimana layaknya penelitian sosial.
            Dalam hal demikian, penelitian hukum dimaksudkan tidak lebih untuk memperoleh kebenaran empiris atau lebih tepat dikatakan sebagai keniscayaan. Inti dari penelitian semacam ini adalah untuk menguji sejauh mana teori hukum dapat diterapkan dalam suatu masyarakat dan apakah aturan-aturan hukum tertentu dipatuhi oleh anggotaanggota masyarakat. Apabila pengembangan ilmu hukum dilakukan dengan melakukan penelitian semacam ini, tidak dapat dielakkan bahwa ilmu hukum telah dibawa untuk menjadi studi perilaku yang hal ini bertentangan dengan hakikat ilmu hukum itu sendiri.
            Di samping itu meskipun para sarjana yang melakukan studi-studi semacam itu tidak secara terbuka menyatakan dalam menetapkan konsep hukum yang ia gunakan untuk bekerja, tidak dapat dibantah bahwa mereka berpegang kepada konsep Austinian. John Austin memandang hukum semata-mata sebagai perintah penguasa. Oleh karena itulah hukum dipandang sebagai perintah untuk melakukan sesuatu atau tidak melakukan suatu perbuatan tertentu yang didukung oleh paksaan fisik yang akan dijatuhkan kepada siapa yang tidak menaati ketentuan itu. Pandangan itu tidak dapat menerangkan ketentuan yang tidak bersifat perintah atau larangan, seperti misalnya ketentuan mengenai usia cukup umur. Sebenarnya, sanksi bukan merupakan unsur yang esensial dalam hukum. Sanksi merupakan unsur tambahan. Ada beberapa hukum yang tidak dilekati dengan sanksi. Ketentuan mengenai usia cukup umur yang elah dikemukakan adalah suatu contoh ketentuan yang tidak dilekati sanksi.
            Unsur yang esensial dalam hukum adalah penerimaan masyarakat terhadap aturan hukum itu sehingga aturan itu mempunyai kekuatan mengikat. Konsep hukum sebagai suatu perintah yang didukung oleh paksaan fisik merupakan konsep yang sangat diwarnai oleh hukum pidana. Konsep semacam itu dengan sendirinya mengabaikan bidang-bidang hukum lainnya. Oleh karena itulah dapat dikatakan bahwa pendekatan sosial terhadap hukum yang berpangkal pada pandangan Austinian sejak semula sudah keliru.
            Pernyataan dalah suatu ilmu deskriptif adalah mengenai apa yang terjadi. Pernyataan itu juga merupakan pernyataan tentang fakta. Baik ilmu-ilmu alamiah maupun ilmuilmu sosial hanya berhubungan dengan gejala yang dapat diamati secara empiris. Apa yang ingin dicapai oleh ilmu-ilmu deskriptif adalah keniscayaan (truth). Konsekuensinya, sistem nilai, yaitu sesuatu yang bersifat seyogyanya atau seharusnya (should atau ought) dan gagasan yang bersifat preskriptif tidak masuk bilangan ilmu sosial maupun ilmu alamiah.
Oleh karena itulah dapat dikemukakan bahwa istilah the science of law atau legal science tidak tepat. Secara etimologis, kata “law” dalam bahasa Inggris mempunyai dua pengertian, yaitu :
1.                Kata “law” diartikan sebagai serangkaian pedoman untuk mencapai keadilan. Dalam bahasa Latin disebut ius, bahasa Perancis droit, bahasa Belanda recht, dan dalam bahasa Jerman Recht.
2.                Kata “law” merujuk kepada seperangkat aturan tingkah laku untuk mengatur ketertiban masyarakat. Dalam bahasa Latin disebut lex, dalam bahasa Perancis loi, dalam bahasa Belanda wet, dan dalam bahasa Jerman Gesetz.
            Mengingat science diidentifikasi sebagai studi empiris, Jan Gijssels and Mark van Hoecke menghindari menerjemahkan kata bahasa Belanda Rechtswetenschap menjadi legal science. Ia secara tepat menganjurkan Rechtswetenschap menjadi jurisprudence. Dalam hal ini jurisprudence didefinisikan sebagai suatu pengetahuan yang sistematis dan terorganisir mengenai gejala hukum, struktur kekuasaan, norma-norma, hak-hak dan kewajiban-kewajiban.
         Jurisprudence dapat didefinisikan secara luas sebagai semua yang bersifat teoretis tentang hukum. Jurisprudence juga berarti metode studi hukum dalam arti umum. Studi tersebut bukan mengenai hukum suatu negara pada suatu waktu tertentu. Di samping itu, jurisprudence sebenarnya bukan sekedar studi hukum, melainkan lebih dari itu merupakan studi tentang hukum. Validitas aturan hukum, keadilan, prosedur standar penerapan hukum dan masalah-masalah internal hukum merupakan bagian yang esensial dari jurisprudence.
       Dengan demikian dapat dikatakan bahwa titik anjak dalam mempelajari hukum adalah memahami kondisi intrinsik aturan-aturan hukum. Hal inilah yang membedakan antara ilmu hukum dengan disiplin-disiplin lain yang objek kajiannya juga hukum. Disiplin-disiplin lain tersebut memandang hukum dari luar. Studi-studi sosial tentang hukum memandang hukum sebagai gejala sosial. Dengan melihat kondisi intrinsik aturan hukum, ilmu hukum mempelajari gagasan-gagasan hukum yang bersifat mendasar, universal, umum, dan teoretis serta landasan pemikiran yang mendasarinya. Landasan pemikiran itu berkaitan dengan berbagai macam konsep mengenai kebenaran, pemahaman dan makna, serta nilai-nilai atau prinsip-prinsip moral.
           Ilmu hukum memandang hukum dari dua aspek yaitu hukum sebagai sistem nilai dan hukum sebagai aturan sosial. Dalam mempelajari hukum adalah memahami kondisi intrinsik aturan hukum. Hal inilah yang membedakan ilmu hukum dengan disiplin lain yang mempunyai kajian hukum disiplin-disiplin lain tersebut memandang hukum dari luar. Studi-studi sosial tentang hukum menmpatkan hukum sebagai gejala sosial. Sedangkan studi-studi yang bersifat evaluatif menghubungkan hukum dengan etika dan moralitas.
          Ilmu hukum modern mengawali langkahnya ditengah-tengah dominasi para pakar dibidang hukum yang mengkajinya sebagai suatu bentuk dari perkembangan masyarakat sehingga dasar-dasar dari ilmu pengetahuan hukum terabaikan hal inilah yang menjadi obyek kajian penulis, karena sekarang banyak sarjana hukum menganggap kajian hukum berada pada tatanan kajian peraturan perundang-undangan (legislative law) bukan pada tatanan jurisprudensi, hal tersebut dikarenakan masuk kajian empirik kedalam ilmu hukum sebagai dasar kajian. Tugas ilmu hukum dalam hal ini jurisprudence adalah menemukan prinsip-prinsip umum yang menjelaskan bangunan dunia hukum.


Referensi,
Deduktif: pengumpulan data-data yang ada hubunganya dengan tulisan ini yang dimulai atau yang bersifat umum menuju kehususan yang menyangkut penulisan.
https://id.wikipedia.org/wiki/Jurisprudensi
Buku-buku Filsafat Hukum





Read more...

Lorem ipsum

Dolor sit amet

About Me

Hukum © Layout By Hugo Meira.

TOPO