Diberdayakan oleh Blogger.

You can replace this text by going to "Layout" and then "Page Elements" section. Edit " About "

Minggu, 10 April 2016

Faktor-Faktor Penyebab Terjadinya Masalah-Masalah Lingkungan



Studi Kasus Permasalahan Lingkungan:



Bahan kuliah Makalah hukum lingkungan "kantong plastik berbayar'
Bahan kuliah Slide Presentasi Manusia dan Lingkungan



Faktor-Faktor Penyebab Terjadinya Masalah-Masalah Lingkungan.

Para sarjana tidak mempunyai pandangan yang sama tentang sebab-sebab timbulnya masalah-masalah lingkungan. Berdasarkan sudut padang para sarjana, maka setidak-tidaknya ada lima faktor yang melatarbelakangi timbulnya masalah-masalah lingkungan, yakni teknologi, penduduk, ekonomi, politik dan tata nilai moral, keagamaan serta budaya.








1. Teknologi.

Barry Commoner dalam bukunya “the Closing Circle” melihat bahwa teknologi merupakan sumber terjadinya masalah-masalah lingkungan. Terjadinya revolusi di bidang ilmu pengetahuan Alam misalnya fisika dan kimia, yang terjadi selama lima puluh tahun terakhir, telah mendorong perubahan-perubahan besar di bidang teknologi. Selanjutnya hasil-hasil teknologi itu diterapkan dalam sektor industri, pertanian, trasportasi dan komunikasi. Berdasarkan pengamatan di Amerika Serikat, Commoner menunjukkan terjadinya masalah lingkungan, terutama pencemaran lingkungan meningkat setelah Perang Dunia II. Ia memberikan contoh-contoh sebagai berikut, bahwa pospat antara 1940-1970 naik tujuh kali lipat atau sekitar 300 juta pound per tahun, nitrogen oksida, yang berasal dari kendaraan bermotor, mencapai 650 persen, lead, yang berasal dari premium, mencapai 415 persen, merkuri, yang berasal dari industri, mencapai 2.100 persen, pestisida sintetis mencapai 270 persen, pupuk nitrogen unorganik mencapai 789 persen. Menurut Commoner, sebelum Perang Dunia II, zat-zat pencemar tersebut di atas sama sekali tidak ada. [1] Richard Stewart and James E. Krier, Environmental Law and Policy, (New York: The Bobbs Merril Co. Inc., Indianapolis, 1978), hlm. 37-42


2. Pertumbuhan Penduduk.

Ehrlich dan Holdren menekankan, bahwa pertumbuhan penduduk dan peningkatan kekayaan memberikan sumbangan penting terhadap penurunan kualitas lingkungan hidup. Mereka menolak pandangan Commoner bahwa pengembangan dan penerapan teknologi baru ke dalam berbagai sektor yang dimulai pada tahun 1940 sebagai penyebab terjadinya masalah-masalah lingkungan.
Ehrlich dan Holdren berpendapat bahwa jauh sebelum teknologi maju dikembangkan seperti apa adanya dewasa ini, bumi, tempat hidup manusia ini, telah mengalami bencana lingkungan. Meraka menunjukan beberapa contoh, yakni terjadinya gurun pasir di lembah Sungai Euphrate dan Sungai Tigris, yang pada zaman sebelum masehi terkenal sebagai kawasan subur. Terjadinya kerusakan pada kawasan yang semula subur itu disebabkan oleh sistim irigasi yang gagal dan pembukaan lahan yang terus menerus akibat pertumbuhan penduduk sehingga semakin luas lahan pertanian berdasarkan sistim irigasi. Di kawasan-kawasan yang curah hujannya rendah, kegagalan pengelolaan irigasi seringkali menimbulkan masalah-masalah lingkungan hidup yang serius, yaitu terjadinya masalah salinisasi (peningkatan kandungan garam di tanah). Kawasan-kawasan yang curah hujannya rendah mengalami tingkat penguapan yang tinggi, sehingga telah menyebabkan kekeringan irigasi. Kekeringan air irigasi sangat potensial menyebabkan terjadinya gurun pasir. Terjadinya kegagalan irigasi tidak saja dihadapi oleh negara-negara berkembang, tetapi juga negara-negara maju. Misalnya Lembah Imperial di California, A.S. yang terpaksa di tinggalkan oleh para petani yang semula tinggal dan mengelola kawasan tersebut karena lahan-lahan di kawasan itu kandungan garamnya meningkat sehingga kesuburan lahan menurun.

Ehrlich dan Holdren juga melihat bahwa usaha peternakan yang berlebihan dan praktek usaha pertanian yang salah telah menyebabkan terjadinya malapetaka lingkungan, yakni terjadinya gurun pasir. Contoh nyata adalah semakin meluasnya Gurun Sahara di Afrika Utara. Terjadinya perluasan Gurun Sahara dikarenakan usaha peternakan yang telah melampaui dayadukung lingkungan (carrying capacity). Di banyak tempat di Benua Eropah, Asia, dan Afrika telah terjadi penggundulan hutan (deforestration), penggembalaan ternak besar-besaran dan pertanian yang salah pada Zaman Pra Industri yang telah mengakibatkan terjadinya erosi tanah. Pada akhirnya, erosi tanah ini dapat mengakibatkan terjadinya gurun atau padang pasir.[2]Ibid., hlm. 45-49


3. Motif Ekonomi.


Hardin dalam karya tulisnya “The Tragedy of the Commons” melihat bahwa alasan-alasan ekonomi yang seringkali menggerakkan perilaku manusia atau keputusan-keputusan yang diambil oleh manusia secara perorangan maupun dalam kelompok, terutama dalam hubungannya dengan pemanfaatan common property. Common property adalah sumber-sumberdaya alam yang tidak dapat menjadi hak perorangan, tetapi setiap orang dapat menggunakan atau memanfaatkannya untuk kepentingan masing-masing. Common property itu meliputi sungai, padang rumput, udara, laut. Karena sumberdaya itu dapat dan bebas untuk dimanfaatkan oleh setiap orang untuk memenuhi kebutuhannya masing-masing, maka setiap orang berusaha dan berlomba-lomba untuk memanfaatkan atau mengeksploitasi sumberdaya semaksimal mungkin guna perolehan keuntungan pribadi yang sebesar-besarnya. Setiap orang berfikir, bahwa kalaupun ia berusaha menggunakan sumber daya secara bijaksana hal itu akan sia-sia saja karena orang lain tidak berfikir dan berbuat demikian, sehingga orang yang pada mulanya memikirkan upaya konservasi atau perlindungan sumber daya alam akan merasa kehilangan motivasi untuk melakukan upaya-upaya konservasi. Pada akhirnya tiap orang berfikir egoistis dan berpacu untuk mengeksploitasi sumber daya alam yang mengakibatkan pe nurunan kualitas dan kuantitas sumberdaya alam. Pada akhirnya semua orang atau masyarakat secara keseluruhan yang akan menderita kerugian. Jadi adanya kebebasan untuk mengeksploitasi sumberdaya alam akan membawa kehancuran bagi masyarakat. Keadaan inilah yang oleh Hardin disebut dengan “tragedy of the commons”.[3]Gareet Hardin, 1997, "The tragedy of the Commons" Library of Congress, hlm. 16.

4. Tata Nilai

Sebagian pakar berpendapat bahwa timbulnya masalah-masalah lingkungan disebabkan oleh tata nilai yang berlaku menempatkan kepentingan manusia sebagai pusat dari segala-galanya dalam alam semesta. Nilai dari segala sesuatu yang ada di alam semesta dilihat dari kepentingan manusia semata. Tata nilai yang dimiliki ini dikenal dengan istilah anthropocentric atau homocentric. . Berdasarkan kaidah antroposentris, alam semesta atau lingkungan hidup dilindungi semata-mata untuk kepentingan manusia. Sumberdaya alam yang terdapat dalam alam semesta dipandang sekedar sebagai objek untuk pemenuhan kebutuhan manusia yang tidak terbatas.
Berdasarkan wawasan pandang antroposentris, manusia bukanlah bagian dari alam. Selanjutnya, manusia diciptakan oleh Sang Pencipta untuk mengatur dan menaklukan alam. Kaidah-kaidah yang berlaku di masyarakat manusia tidak berlaku terhadap benda-benda alam atau mahluk alam lainya, seperti hewan dan pohon-pohonan. Dengan demikian, wawasan antroposentris menimbulkan dualisme antara manusia disatu pihak dan alam semesta dipihak lain. Oleh sebab itu, eksploitasi terhadap alam semesta, harus dilihat sebagai perwujudan kehendak Tuhan. Manusia pada dasarnya diciptakan oleh Tuhan untuk menguasai dan menaklukan alam.
Wawasan pandang antroposentris itu telah mendapat tantangan dari kalangan aktivis gerakan lingkungan (environmentalists) karena dua alasan. Pertama, manusia adalah bagian dari alam. Manusia hanyalah merupakan satu di antara spesies organis yang hidup dalam suatu sistem yang saling tergantung. Oleh sebab itu, perlu dipertahankan berlakunya wawasan pandang yang melihat semua unsur-unsur dalam alam semesta sebagai suatu kesatuan. Kepedulian manusia seyogianya tidak hanya terbatas pada diri manusia saja, tetapi juga diperluas meliputi makluk-makluk lain dalam alam semesta. Kedua, hewan-hewan sebagai makhluk alam yang–seperti manusia–juga mempunyai rasa sakit seharusnya diakui haknya sebagai suatu kaidah moral manusia.
Salah satu di antara kaum moralis ekologis yang mengusulkan perlunya suatu perubahan wawasan pandang antroposentris adalah Aldo Leopold. Leopold mengusulkan perlunya pengembangan kaidah etik baru yang bersifat holistik. Kaidah itu berlaku bagi suatu komunitas biotik yang meliputi semua makhluk yang punya rasa sakit dan nikmat. Kebutuhan dan kepentingan tiap-tiap makhluk merupakan dasar penentuan dari baik atau tidaknya suatu tindakan. [4]Enviromental philosophy, The Pennsylvania State University Press, 1983, hlm. 109.

Seja o primeiro a comentar

Posting Komentar

Lorem ipsum

Dolor sit amet

About Me

Hukum © Layout By Hugo Meira.

TOPO