Faktor-Faktor Penyebab Terjadinya Masalah-Masalah Lingkungan
Studi Kasus Permasalahan Lingkungan:
Bahan kuliah Makalah hukum lingkungan "kantong plastik berbayar'
Bahan kuliah Slide Presentasi Manusia dan Lingkungan
Faktor-Faktor Penyebab Terjadinya Masalah-Masalah Lingkungan.
Para sarjana tidak mempunyai pandangan yang sama tentang sebab-sebab timbulnya masalah-masalah lingkungan. Berdasarkan sudut padang para sarjana, maka setidak-tidaknya ada lima faktor yang melatarbelakangi timbulnya masalah-masalah lingkungan, yakni teknologi, penduduk, ekonomi, politik dan tata nilai moral, keagamaan serta budaya.
1. Teknologi.
Barry Commoner dalam
bukunya “the Closing Circle” melihat bahwa teknologi merupakan sumber
terjadinya masalah-masalah lingkungan. Terjadinya revolusi di bidang ilmu
pengetahuan Alam misalnya fisika dan kimia, yang terjadi selama lima puluh
tahun terakhir, telah mendorong perubahan-perubahan besar di bidang teknologi.
Selanjutnya hasil-hasil teknologi itu diterapkan dalam sektor industri,
pertanian, trasportasi dan komunikasi. Berdasarkan pengamatan di Amerika
Serikat, Commoner menunjukkan terjadinya masalah lingkungan, terutama pencemaran
lingkungan meningkat setelah Perang Dunia II. Ia memberikan contoh-contoh
sebagai berikut, bahwa pospat antara 1940-1970 naik tujuh kali lipat atau
sekitar 300 juta pound per tahun, nitrogen oksida, yang berasal dari kendaraan
bermotor, mencapai 650 persen, lead, yang berasal dari premium, mencapai 415
persen, merkuri, yang berasal dari industri, mencapai 2.100 persen, pestisida
sintetis mencapai 270 persen, pupuk nitrogen unorganik mencapai 789 persen.
Menurut Commoner, sebelum Perang Dunia II, zat-zat pencemar tersebut di atas
sama sekali tidak ada. [1] Richard Stewart and James E. Krier, Environmental Law and Policy, (New York: The Bobbs Merril Co. Inc., Indianapolis, 1978), hlm. 37-42
2. Pertumbuhan
Penduduk.
Ehrlich dan Holdren
menekankan, bahwa pertumbuhan penduduk dan peningkatan kekayaan memberikan
sumbangan penting terhadap penurunan kualitas lingkungan hidup. Mereka menolak
pandangan Commoner bahwa pengembangan dan penerapan teknologi baru ke dalam
berbagai sektor yang dimulai pada tahun 1940 sebagai penyebab terjadinya
masalah-masalah lingkungan.
Ehrlich dan Holdren
berpendapat bahwa jauh sebelum teknologi maju dikembangkan seperti apa adanya
dewasa ini, bumi, tempat hidup manusia ini, telah mengalami bencana lingkungan.
Meraka menunjukan beberapa contoh, yakni terjadinya gurun pasir di lembah
Sungai Euphrate dan Sungai Tigris, yang pada zaman sebelum masehi terkenal
sebagai kawasan subur. Terjadinya kerusakan pada kawasan yang semula subur itu
disebabkan oleh sistim irigasi yang gagal dan pembukaan lahan yang terus
menerus akibat pertumbuhan penduduk sehingga semakin luas lahan pertanian
berdasarkan sistim irigasi. Di kawasan-kawasan yang curah hujannya rendah,
kegagalan pengelolaan irigasi seringkali menimbulkan masalah-masalah lingkungan
hidup yang serius, yaitu terjadinya masalah salinisasi (peningkatan kandungan
garam di tanah). Kawasan-kawasan yang curah hujannya rendah mengalami tingkat
penguapan yang tinggi, sehingga telah menyebabkan kekeringan irigasi.
Kekeringan air irigasi sangat potensial menyebabkan terjadinya gurun pasir.
Terjadinya kegagalan irigasi tidak saja dihadapi oleh negara-negara berkembang,
tetapi juga negara-negara maju. Misalnya Lembah Imperial di California, A.S.
yang terpaksa di tinggalkan oleh para petani yang semula tinggal dan mengelola
kawasan tersebut karena lahan-lahan di kawasan itu kandungan garamnya meningkat
sehingga kesuburan lahan menurun.
Ehrlich dan Holdren
juga melihat bahwa usaha peternakan yang berlebihan dan praktek usaha pertanian
yang salah telah menyebabkan terjadinya malapetaka lingkungan, yakni terjadinya
gurun pasir. Contoh nyata adalah semakin meluasnya Gurun Sahara di Afrika
Utara. Terjadinya perluasan Gurun Sahara dikarenakan usaha peternakan yang
telah melampaui dayadukung lingkungan (carrying capacity). Di banyak tempat di
Benua Eropah, Asia, dan Afrika telah terjadi penggundulan hutan
(deforestration), penggembalaan ternak besar-besaran dan pertanian yang salah
pada Zaman Pra Industri yang telah mengakibatkan terjadinya erosi tanah. Pada
akhirnya, erosi tanah ini dapat mengakibatkan terjadinya gurun atau padang
pasir.[2]Ibid., hlm. 45-49
3. Motif Ekonomi.
Hardin dalam karya
tulisnya “The Tragedy of the Commons” melihat bahwa alasan-alasan ekonomi yang
seringkali menggerakkan perilaku manusia atau keputusan-keputusan yang diambil
oleh manusia secara perorangan maupun dalam kelompok, terutama dalam
hubungannya dengan pemanfaatan common property. Common property adalah
sumber-sumberdaya alam yang tidak dapat menjadi hak perorangan, tetapi setiap
orang dapat menggunakan atau memanfaatkannya untuk kepentingan masing-masing.
Common property itu meliputi sungai, padang rumput, udara, laut. Karena sumberdaya
itu dapat dan bebas untuk dimanfaatkan oleh setiap orang untuk memenuhi
kebutuhannya masing-masing, maka setiap orang berusaha dan berlomba-lomba untuk
memanfaatkan atau mengeksploitasi sumberdaya semaksimal mungkin guna perolehan
keuntungan pribadi yang sebesar-besarnya. Setiap orang berfikir, bahwa kalaupun
ia berusaha menggunakan sumber daya secara bijaksana hal itu akan sia-sia saja
karena orang lain tidak berfikir dan berbuat demikian, sehingga orang yang pada
mulanya memikirkan upaya konservasi atau perlindungan sumber daya alam akan
merasa kehilangan motivasi untuk melakukan upaya-upaya konservasi. Pada
akhirnya tiap orang berfikir egoistis dan berpacu untuk mengeksploitasi sumber
daya alam yang mengakibatkan pe nurunan kualitas dan kuantitas sumberdaya alam.
Pada akhirnya semua orang atau masyarakat secara keseluruhan yang akan
menderita kerugian. Jadi adanya kebebasan untuk mengeksploitasi sumberdaya alam
akan membawa kehancuran bagi masyarakat. Keadaan inilah yang oleh Hardin
disebut dengan “tragedy of the commons”.[3]Gareet Hardin, 1997, "The tragedy of the Commons" Library of Congress, hlm. 16.
4. Tata Nilai
Sebagian pakar berpendapat bahwa timbulnya masalah-masalah lingkungan disebabkan oleh tata nilai yang berlaku menempatkan kepentingan manusia sebagai pusat dari segala-galanya dalam alam semesta. Nilai dari segala sesuatu yang ada di alam semesta dilihat dari kepentingan manusia semata. Tata nilai yang dimiliki ini dikenal dengan istilah anthropocentric atau homocentric. . Berdasarkan kaidah antroposentris, alam semesta atau lingkungan hidup dilindungi semata-mata untuk kepentingan manusia. Sumberdaya alam yang terdapat dalam alam semesta dipandang sekedar sebagai objek untuk pemenuhan kebutuhan manusia yang tidak terbatas.
Berdasarkan wawasan
pandang antroposentris, manusia bukanlah bagian dari alam. Selanjutnya, manusia diciptakan oleh Sang
Pencipta untuk mengatur dan menaklukan alam. Kaidah-kaidah yang berlaku di
masyarakat manusia tidak berlaku terhadap benda-benda alam atau mahluk alam
lainya, seperti hewan dan pohon-pohonan. Dengan demikian, wawasan
antroposentris menimbulkan dualisme antara manusia disatu pihak dan alam
semesta dipihak lain. Oleh sebab itu, eksploitasi terhadap alam semesta, harus
dilihat sebagai perwujudan kehendak Tuhan. Manusia pada dasarnya diciptakan
oleh Tuhan untuk menguasai dan menaklukan alam.
Wawasan pandang
antroposentris itu telah mendapat tantangan dari kalangan aktivis gerakan
lingkungan (environmentalists) karena dua alasan. Pertama, manusia adalah
bagian dari alam. Manusia hanyalah merupakan satu di antara spesies organis
yang hidup dalam suatu sistem yang saling tergantung. Oleh sebab itu, perlu
dipertahankan berlakunya wawasan pandang yang melihat semua unsur-unsur dalam
alam semesta sebagai suatu kesatuan. Kepedulian manusia seyogianya tidak hanya
terbatas pada diri manusia saja, tetapi juga diperluas meliputi makluk-makluk
lain dalam alam semesta. Kedua, hewan-hewan sebagai makhluk alam yang–seperti
manusia–juga mempunyai rasa sakit seharusnya diakui haknya sebagai suatu
kaidah moral manusia.
Salah satu di antara kaum
moralis ekologis yang mengusulkan perlunya suatu perubahan wawasan pandang
antroposentris adalah Aldo Leopold. Leopold mengusulkan perlunya pengembangan
kaidah etik baru yang bersifat holistik. Kaidah itu berlaku bagi suatu
komunitas biotik yang meliputi semua makhluk yang punya rasa sakit dan nikmat.
Kebutuhan dan kepentingan tiap-tiap makhluk merupakan dasar penentuan dari baik
atau tidaknya suatu tindakan. [4]Enviromental philosophy, The Pennsylvania State University Press, 1983, hlm. 109.