Diberdayakan oleh Blogger.

You can replace this text by going to "Layout" and then "Page Elements" section. Edit " About "

Minggu, 10 April 2016

Faktor-Faktor Penyebab Terjadinya Masalah-Masalah Lingkungan



Studi Kasus Permasalahan Lingkungan:



Bahan kuliah Makalah hukum lingkungan "kantong plastik berbayar'
Bahan kuliah Slide Presentasi Manusia dan Lingkungan



Faktor-Faktor Penyebab Terjadinya Masalah-Masalah Lingkungan.

Para sarjana tidak mempunyai pandangan yang sama tentang sebab-sebab timbulnya masalah-masalah lingkungan. Berdasarkan sudut padang para sarjana, maka setidak-tidaknya ada lima faktor yang melatarbelakangi timbulnya masalah-masalah lingkungan, yakni teknologi, penduduk, ekonomi, politik dan tata nilai moral, keagamaan serta budaya.








1. Teknologi.

Barry Commoner dalam bukunya “the Closing Circle” melihat bahwa teknologi merupakan sumber terjadinya masalah-masalah lingkungan. Terjadinya revolusi di bidang ilmu pengetahuan Alam misalnya fisika dan kimia, yang terjadi selama lima puluh tahun terakhir, telah mendorong perubahan-perubahan besar di bidang teknologi. Selanjutnya hasil-hasil teknologi itu diterapkan dalam sektor industri, pertanian, trasportasi dan komunikasi. Berdasarkan pengamatan di Amerika Serikat, Commoner menunjukkan terjadinya masalah lingkungan, terutama pencemaran lingkungan meningkat setelah Perang Dunia II. Ia memberikan contoh-contoh sebagai berikut, bahwa pospat antara 1940-1970 naik tujuh kali lipat atau sekitar 300 juta pound per tahun, nitrogen oksida, yang berasal dari kendaraan bermotor, mencapai 650 persen, lead, yang berasal dari premium, mencapai 415 persen, merkuri, yang berasal dari industri, mencapai 2.100 persen, pestisida sintetis mencapai 270 persen, pupuk nitrogen unorganik mencapai 789 persen. Menurut Commoner, sebelum Perang Dunia II, zat-zat pencemar tersebut di atas sama sekali tidak ada. [1] Richard Stewart and James E. Krier, Environmental Law and Policy, (New York: The Bobbs Merril Co. Inc., Indianapolis, 1978), hlm. 37-42


2. Pertumbuhan Penduduk.

Ehrlich dan Holdren menekankan, bahwa pertumbuhan penduduk dan peningkatan kekayaan memberikan sumbangan penting terhadap penurunan kualitas lingkungan hidup. Mereka menolak pandangan Commoner bahwa pengembangan dan penerapan teknologi baru ke dalam berbagai sektor yang dimulai pada tahun 1940 sebagai penyebab terjadinya masalah-masalah lingkungan.
Ehrlich dan Holdren berpendapat bahwa jauh sebelum teknologi maju dikembangkan seperti apa adanya dewasa ini, bumi, tempat hidup manusia ini, telah mengalami bencana lingkungan. Meraka menunjukan beberapa contoh, yakni terjadinya gurun pasir di lembah Sungai Euphrate dan Sungai Tigris, yang pada zaman sebelum masehi terkenal sebagai kawasan subur. Terjadinya kerusakan pada kawasan yang semula subur itu disebabkan oleh sistim irigasi yang gagal dan pembukaan lahan yang terus menerus akibat pertumbuhan penduduk sehingga semakin luas lahan pertanian berdasarkan sistim irigasi. Di kawasan-kawasan yang curah hujannya rendah, kegagalan pengelolaan irigasi seringkali menimbulkan masalah-masalah lingkungan hidup yang serius, yaitu terjadinya masalah salinisasi (peningkatan kandungan garam di tanah). Kawasan-kawasan yang curah hujannya rendah mengalami tingkat penguapan yang tinggi, sehingga telah menyebabkan kekeringan irigasi. Kekeringan air irigasi sangat potensial menyebabkan terjadinya gurun pasir. Terjadinya kegagalan irigasi tidak saja dihadapi oleh negara-negara berkembang, tetapi juga negara-negara maju. Misalnya Lembah Imperial di California, A.S. yang terpaksa di tinggalkan oleh para petani yang semula tinggal dan mengelola kawasan tersebut karena lahan-lahan di kawasan itu kandungan garamnya meningkat sehingga kesuburan lahan menurun.

Ehrlich dan Holdren juga melihat bahwa usaha peternakan yang berlebihan dan praktek usaha pertanian yang salah telah menyebabkan terjadinya malapetaka lingkungan, yakni terjadinya gurun pasir. Contoh nyata adalah semakin meluasnya Gurun Sahara di Afrika Utara. Terjadinya perluasan Gurun Sahara dikarenakan usaha peternakan yang telah melampaui dayadukung lingkungan (carrying capacity). Di banyak tempat di Benua Eropah, Asia, dan Afrika telah terjadi penggundulan hutan (deforestration), penggembalaan ternak besar-besaran dan pertanian yang salah pada Zaman Pra Industri yang telah mengakibatkan terjadinya erosi tanah. Pada akhirnya, erosi tanah ini dapat mengakibatkan terjadinya gurun atau padang pasir.[2]Ibid., hlm. 45-49


3. Motif Ekonomi.


Hardin dalam karya tulisnya “The Tragedy of the Commons” melihat bahwa alasan-alasan ekonomi yang seringkali menggerakkan perilaku manusia atau keputusan-keputusan yang diambil oleh manusia secara perorangan maupun dalam kelompok, terutama dalam hubungannya dengan pemanfaatan common property. Common property adalah sumber-sumberdaya alam yang tidak dapat menjadi hak perorangan, tetapi setiap orang dapat menggunakan atau memanfaatkannya untuk kepentingan masing-masing. Common property itu meliputi sungai, padang rumput, udara, laut. Karena sumberdaya itu dapat dan bebas untuk dimanfaatkan oleh setiap orang untuk memenuhi kebutuhannya masing-masing, maka setiap orang berusaha dan berlomba-lomba untuk memanfaatkan atau mengeksploitasi sumberdaya semaksimal mungkin guna perolehan keuntungan pribadi yang sebesar-besarnya. Setiap orang berfikir, bahwa kalaupun ia berusaha menggunakan sumber daya secara bijaksana hal itu akan sia-sia saja karena orang lain tidak berfikir dan berbuat demikian, sehingga orang yang pada mulanya memikirkan upaya konservasi atau perlindungan sumber daya alam akan merasa kehilangan motivasi untuk melakukan upaya-upaya konservasi. Pada akhirnya tiap orang berfikir egoistis dan berpacu untuk mengeksploitasi sumber daya alam yang mengakibatkan pe nurunan kualitas dan kuantitas sumberdaya alam. Pada akhirnya semua orang atau masyarakat secara keseluruhan yang akan menderita kerugian. Jadi adanya kebebasan untuk mengeksploitasi sumberdaya alam akan membawa kehancuran bagi masyarakat. Keadaan inilah yang oleh Hardin disebut dengan “tragedy of the commons”.[3]Gareet Hardin, 1997, "The tragedy of the Commons" Library of Congress, hlm. 16.

4. Tata Nilai

Sebagian pakar berpendapat bahwa timbulnya masalah-masalah lingkungan disebabkan oleh tata nilai yang berlaku menempatkan kepentingan manusia sebagai pusat dari segala-galanya dalam alam semesta. Nilai dari segala sesuatu yang ada di alam semesta dilihat dari kepentingan manusia semata. Tata nilai yang dimiliki ini dikenal dengan istilah anthropocentric atau homocentric. . Berdasarkan kaidah antroposentris, alam semesta atau lingkungan hidup dilindungi semata-mata untuk kepentingan manusia. Sumberdaya alam yang terdapat dalam alam semesta dipandang sekedar sebagai objek untuk pemenuhan kebutuhan manusia yang tidak terbatas.
Berdasarkan wawasan pandang antroposentris, manusia bukanlah bagian dari alam. Selanjutnya, manusia diciptakan oleh Sang Pencipta untuk mengatur dan menaklukan alam. Kaidah-kaidah yang berlaku di masyarakat manusia tidak berlaku terhadap benda-benda alam atau mahluk alam lainya, seperti hewan dan pohon-pohonan. Dengan demikian, wawasan antroposentris menimbulkan dualisme antara manusia disatu pihak dan alam semesta dipihak lain. Oleh sebab itu, eksploitasi terhadap alam semesta, harus dilihat sebagai perwujudan kehendak Tuhan. Manusia pada dasarnya diciptakan oleh Tuhan untuk menguasai dan menaklukan alam.
Wawasan pandang antroposentris itu telah mendapat tantangan dari kalangan aktivis gerakan lingkungan (environmentalists) karena dua alasan. Pertama, manusia adalah bagian dari alam. Manusia hanyalah merupakan satu di antara spesies organis yang hidup dalam suatu sistem yang saling tergantung. Oleh sebab itu, perlu dipertahankan berlakunya wawasan pandang yang melihat semua unsur-unsur dalam alam semesta sebagai suatu kesatuan. Kepedulian manusia seyogianya tidak hanya terbatas pada diri manusia saja, tetapi juga diperluas meliputi makluk-makluk lain dalam alam semesta. Kedua, hewan-hewan sebagai makhluk alam yang–seperti manusia–juga mempunyai rasa sakit seharusnya diakui haknya sebagai suatu kaidah moral manusia.
Salah satu di antara kaum moralis ekologis yang mengusulkan perlunya suatu perubahan wawasan pandang antroposentris adalah Aldo Leopold. Leopold mengusulkan perlunya pengembangan kaidah etik baru yang bersifat holistik. Kaidah itu berlaku bagi suatu komunitas biotik yang meliputi semua makhluk yang punya rasa sakit dan nikmat. Kebutuhan dan kepentingan tiap-tiap makhluk merupakan dasar penentuan dari baik atau tidaknya suatu tindakan. [4]Enviromental philosophy, The Pennsylvania State University Press, 1983, hlm. 109.

Read more...

Jumat, 04 Maret 2016

Jurisprudence dan Ilmu Pengetahuan (Sains)

            
https://www.fotolia.com/id/48617361
           Dalam bahasa Inggris ilmu hukum disebut secara tepat sebagai Jurisprudence dan bukannya the science of law atau legal science, untuk suatu disiplin yang pokok bahasannya adalah hukum. Istilah jurisprudence berasal dari bahasa iuris, yang merupakan bentuk jamak dari ius, yang artinya hukum yang dibuat oleh masyarakat dan kebiasaan dan bukan perundang-undangan dan prudentia, yang artinya kebijaksanaan atau pengetahuan. Jurisprudence, dengan demikian berarti kebijaksanaan yang berkaitan dengan hukum atau pengetahuan hukum.
            Hal tersebut dikarenakan, secara etimologis, kata “law” dalam bahasa Inggris mempunyai dua pengertian, yaitu serangkaian pedoman untuk mencapai keadilan dan merujuk kepada seperangkat aturan tingkah laku untuk mengatur ketertiban masyarakat.
           Perbedaan rujukan terhadap pengertian “law” akan menghasilkan perbedaan dalam pendekatan secara teoretis terhadap hukum. Istilah “law” yang secara umum dipakai dalam bahasa Inggris secara etimologis berasal dari kata “lagu”, suatu kata dalam garis lex dan bukan garis ius, yang digunakan untuk menyebut aturan-aturan yang dikodifikasikan oleh raja-raja Anglo-Saxon. Lagu ternyata berada dalam garis lex dan bukan ius. Apabila hal ini diikuti, istilah  legal science akan bermakna ilmu tentang aturan perundang-undangan. Hal ini akan terjadi ketidaksesuaian makna yang dikandung dalam ilmu itu sendiri. Disinilah titik argumentasi akan ketidaktepatan penggunaan istilah the science of law maupun legal science.
      Ilmu Pengetahuan atau Sains lekat dengan empirisme dan metode ilmiah. Pembuktian-pembuktian yang memenuhi tuntutan indrawi secara empiris harus dipenuhi dalam sains. Hubungan kausalitas sangat memainkan peranan penting dalam logika ilmu pengetahuan. Sebuah proposisi akan sebuah hal akan menyebabkan timbulnya proposisi yang lainya.
      Dengan demikian, ilmu pengetahuan atau sains berciri adanya prinsip kausalitas yang mendominasi dalam operasi proposisi-proposisinya. Emperisme sangat kental dalam dasar-dasar pengukuran akan sebuah proposisi. Pengujian (verivikasi) dan penarikan kesimpulan dengan menggunakan induksi (metode ilmiah).
         Jurisprudence dapat didefinisikan secara luas sebagai semua yang bersifat teoretis tentang hukum. Jurisprudence juga berarti metode studi hukum dalam arti umum. Studi tersebut bukan mengenai hukum suatu negara pada suatu waktu tertentu. Di samping itu, jurisprudence sebenarnya bukan sekedar studi hukum, melainkan lebih dari itu merupakan studi tentang hukum.
            Untuk mendapatkan pengertian ilmu hukum, perlu diingat ungkapan lama quot homines, tot sententiae. Dalam bahasa Inggris, ilmu hukum disebut jurisprudence. Akan tetapi ada beberapa penulis berbahasa Inggris menyebut ilmu hukum sebagai the science of law atau legal science.
            Salmond, misalnya menyatakan: “If we use the term science in its widest permissible sense as including the systematized knowledge of any subject of intellectual enquiry, we may define jurisprudence as the science of civil law”. Begitu juga Keaton. Menurutnya, “the science of jurisprudence may be considered as the strictly and systematic arrangement of the general principles of law”. Sama halnya Roscoe Pound menyatakan “jurisprudence is the science of law, using the term law in the judicial sense, as denoting the body of principles recognized or enforced by public or regular tribunals in the administration of justice”.
        Di dalam Webster Dictionary, kata science berarti knowledge or a system of knowledge covering general truths or the operation of general laws especially as obtained and tested through scientific method. Selanjutnya, kamus itu menyebutkan bahwa such knowledge or such a system of knowledge concerned with the physical world and its phenomena: NATURAL SCIENCE. Dengan berpegang kepada kamus itu, tidak dapat disangkal bahwa kata science memang merujuk kepada tidak lain dari pada ilmu alamiah. Jenis ilmu ini hanya dapat diperoleh melalui metode ilmiah atau scientific method. Sedangkan mengenai scientific method, Webster mendefinisikan sebagai principles and procedures for the systematic pursuit of knowledge involving the recognition and formulation of a problem, the collection of data through observation and experiment, and the formulation and testing of hypotheses.
            Francis Bacon adalah orang yang pertama kali memformulasikan metode ilmiah. Meskipun dilakukan beberapa perbaikan, rumusan Bacon itu dapat diterima oleh para ilmuwan sejak abad XVII. Para ilmuwan mulai dengan melakukan eksperimen yang tujuannya untuk mengamati gejala-gejala secara cermat dan teliti. Selanjutnya, para ilmuwan itu merekam apa yang mereka temukan, menganalisisnya, dan mempublikasikannya. Dengan berjalannya waktu, mereka bekerja sama dengan para koleganya dari bidang studi yang sama dan mengumpulkan temuan-temuan itu sebagai data yang dapat dipercaya. Dalam suatu situasi semacam itu, para ilmuwan tidak mulai dengan menyusun hipotesis, melainkan mereka mulai dengan melakukan observasi.
Semakin banyak data terkumpul, semakin banyak gejala ilmiah terungkap.
           Niat para ilmuwan adalah menjelaskan gejala-gejala alamiah secara ilmiah. Kegiatan semacam ini dimulai dengan menyusun hipotesis dan bukan dengan melakukan pengamatan terhadap gejala-gejala yang ada. Hipotesis adalah suatu praduga yang bersifat tentatif yang dibuat untuk menarik kesimpulan dan menguji sesuatu yang bersifat empiris.
          Auguste Comte dipandang sebagai pendiri positivisme. Ia membedakan tiga tahap besar evolusi pemikiran manusia. Tahap pertama adalah tahap theologis. Pada tahap ini semua gejala diterangkan dengan merujuk kepada kausa yang bersifat supranatural dan campur tangan sesuatu yang ilahi.
·        Tahap kedua adalah tahap metafisika.Di dalam tahap ini pikiran dikembalikan kepada prinsip-prinsip dan gagasan-gagasan yang mendasar yang dipandang berada di bawah permukaan yang membentuk kekuatan nyata dalam evolusi manusia.
·        Tahap ketiga, yaitu tahap terakhir adalah tahap positif. Tahap ini menolak semua konstruksi hipotetetis yang ada dalam filsafat dan membatasi diri kepada observasi empiris dan hubungan di antara fakta melalui metode yang digunakan dalam ilmu-ilmu alamiah.
            Sejak paruh kedua abad XIX, positivisme yang dikemukakan oleh Auguste Comte menjadi suatu pola ilmu-ilmu sosial. Sebagai seorang pengagum ilmu-ilmu alamiah, John Stuart Mill percaya bahwa ada hukum kausalitas yang mengatur manusia dalam hidup bermasyarakat sama halnya dengan dunia fisika. Dia menerapkan metode ilmiah kepada studi-studi sosial. Hal ini merupakan sesuatu yang pertama kali terjadi diterapkannya metode untuk ilmu-ilmu alamiah kepada ilmu-ilmu sosial. Oleh karena itulah tepatlah jika katakan bahwa apa yang dilakukan oleh Mill tersebut disebut “naturalistic” social science. Jika poitivisme begitu kuat mempengaruhi Mill dalam bidang ilmu sosial, pada ilmu hukum, pengaruh tersebut telah mempengaruhi John Austin..
            John Austin dipandang sebagai pendiri legal positivism. Dalam karyanya “Essays on Equality, Law, and Education”, John Stuart Mill menulis tentang Austin: “No writer whom we know had more of the qualities needed for initiating and disciplining other minds in the difficult art of precise thought”. Setelah mempelajari Hukum Romawi, Austin menjumpai betapa teraturnya Hukum Romawi dan betapa kacaunya Hukum Inggris. Austin kemudian membuat perbedaan yang tajam antara jurisprudence dan the science of ethics. Ia menyatakan bahwa “the science of jurisprudence is concerned with positive laws, or with laws strictly so called, as considered without regard to their goodness and badness.” Yuris, menurut Austin hanya berhubungan dengan hukum sebagaimana adanya. Sebaliknya, legislator dan filosof ethika berhubungan dengan hukum yang seharusnya. Hukum positif, menurut Austin tidak berkaitan dengan hukum yang ideal atau yang adil. Legal positivism didirikan sebagai suatu jawaban akan tuntutan ilmu pengetahuan modern dalam semangat anti metafisika. Doktrin hukum yang bersifat tradisional dianggap diselimuti oleh kabut metafisika. Ilmu pengetahuan modern, sebaliknya, memerlukan pengetahuan yang objektif. Suatu pengetahuan objektif adalah suatu pernyataan mengenai suatu gejala yang harus diverifikasi dan eksistensinya harus didasarkan pada fakta yang dapat diobservasi dan dikontrol. Austin mendeskripsikan hukum sebagai gejala yang dapat diamati. Dalam pandangan Austin, hukum terdiri dari perintah-perintah dan sanksi-sanksi yang diberikan oleh penguasa dan dipatuhi oleh setiap anggota masyarakat. Aspek normatif hukum dinyatakan dengan merujuk kepada aturan-aturan tingkah laku lahiriah. Bagi Austin, evaluasi terhadap aturan hukum merupakan sesuatu yang lain. Dengan demikian, Austin menulis tentang hukum dari perspektif sosiolog yang bebas nilai. Dengan menerapkan metode yang digunakan untuk ilmu-ilmu sosial, kaum positivis berpendapat bahwa suatu pernyataan yang dapat diverifikasi secara empiris itulah yang dikatakan sebagai pengetahuan sejati. Mereka menolak semua gejala yang berada dalam kategori nilai-nilai.
            Kaum positivis hanya berpegang kepada induksi yaitu dengan mengamati fakta empiris untuk memverifikasi hipotesis yang diajukan, melakukan inferensi, dan akhirnya menghasilkan teori eksplanatoris. Prosedur untuk mendapatkan pengetahuan empiris oleh kaum positivis dianggap telah menghasilkan hukum-hukum ilmiah yang bersifat umum dan seragam.
            Menurut Bernard Barber, prosedur semacam itu dapat diterapkan untuk ilmu-ilmu sosial. Ia menyatakan “Science is a unity, whatever the class of empirical materials to which it is applied, and therefore, natural and social science belong together in principle”. Lebih lanjut ia mengemukakan bahwa perbedaan antara ilmuilmu alamiah dan ilmu-ilmu sosial terletak pada tingkat perkembangannya dan tidak bersifat fundamental. Barber, kemudian mengemukakan adanya lima disiplin yang dapat dikategorikan ke dalam ilmu-ilmu sosial, yaitu ilmu ekonomi, ilmu politik, psikologi, sosiologi, dan anthropologi. Menurut Barber, suatu karakter yang esensial dalam semua ilmu sosial adalah ilmu-ilmu itu berkaitan dengan hubungan sosial di antara manusia, yaitu mereka berinteraksi satu dengan yang lain bukan hanya secara fisik melainkan juga atas dasar makna-makna yang disepakati bersama. Namun demikian ada dua hal yang perlu diperhatikan dalam menerapkan metode yang digunakan untuk ilmu-ilmu alamiah kepada ilmu-ilmu sosial.
            Pertama, gejala yang dihadapi oleh ilmuwan sosial tidak sama dengan gejala yang dihadapi oleh ilmuwan dalam ruang lingkup ilmu-ilmu alamiah. Objek telaahnya berbeda, yaitu ilmu-ilmu alamiah berkaitan dengan materi sedangkan ilmu-ilmu sosial mengenai manusia. Materi bereaksi terhadap rangsangan. Materi tidak memahami perilakunya sendiri dan tidak mempunyai keinginan subjektif. Materi tidak mempunyai makna sampai ilmuwan menjadikannya sesuatu untuk diperhatikan. Untuk memahami logika perilaku materi, seseorang harus mengamatinya. Sebaliknya, perilaku masyarakat mempunyai makna bagi masyarakat itu. Masyarakat menetapkan situasi mereka dan bertindak dengan cara-cara tertentu dalam mencapai tujuannya. Dalam melakukan hal itu mereka membangun suatu dunia sosial. Kehidupan sosial mempunyai kehidupan internal yang harus dipahami oleh ilmuwan sosial. Sebaliknya, ilmuwan dalam ruang lingkup ilmu-ilmu alamiah dapat menetapkan logika eksternal terhadap data yang ia peroleh. Pemahaman mengenai maksud subjektif manusia memerlukan pemahaman interpretatif dari teoretisi yang mengalami makna subjektif tersebut.
            Kedua, ilmuwan sosial tidak dapat mengalami pengalaman orang lain. Pengalaman pribadinya membuatnya memberi warna terhadap apa yang terjadi. Suatu contoh yang dapat dikemukakan di sini adalah persepsi Clifford Geerzt tentang dikhotomi masyarakat Jawa menjadi kaum santri dan abangan. Perspektif semacam ini tentu saja dipengaruhi oleh budaya di tempat ia dibesarkan. Sama halnya bukan orang Jawa yang suka melihat wayang tanpa mengerti makna wayang lalu mengambil kesimpulan bahwa orang Jawa suka perang.
            Didirikannya Law and Society Association dan jurnalnya Law & Society Review tahun 1960-an telah menyulut studi-studi hukum dari perspektif ilmu sosial. Sejak itu literatur-literatur mengenai hukum dan masyarakat berkembang dengan pesat. Objek-objek penelitian acap kali diarahkan pada topik-topik dampak hukum terhadap masyarakat tertentu, kepatuhan hukum masayarakat tertentu terhadap suatu aturan hukum tertentu, efektivitas aturan hukum dalam kehidupan bermasyarakat, dan hukum dan perubahan sosial. Hal ini telah mengubah pendekatan dari pendekatan tradisional yang berbicara mengenai doktrin-doktrin hukum ke arah pendekatan perilaku dengan cara menyoroti putusan-putusan pengadilan terbaru dalam rangka menjawab masalah-masalah dampak hukum terhadap masyarakat secara keseluruhan.
            Masalah pokok dalam penelitian semacam itu adalah menyelidiki lubang antara yang digagas oleh hukum dan apa yang terjadi di alam empiris. Hal ini berarti menjadikan studi hukum menjadi studi sosial. Menurut para pengikut pandangan itu, tugas ilmu hukum adalah menyelesaikan masalah-masalah sosial yang berkaitan dengan hukum dan bukan untuk menelaah hukum itu sendiri secara lebih mendalam. Dalam melaksanakan hal itu, tentu saja perlu dilakukan verifikasi empiris.
            Konsekuensinya, penelitian perlu diadakan untuk menyelesaikan masalah itu. Kecenderungan semacam itu amat dipengaruhi oleh ilmuwan sosial yang melakukan studi hukum dari perspektif mereka senditi. Implikasi dari hal itu adalah diperlukannya prosedur standar untuk melakukan studi hukum yang dipolakan menurut pola ilmu sosial. Dalam pengembangan ilmu hukum, sudah barang tentu juga harus mengikuti metode yang digunakan oleh ilmu sosial, yaitu melalui penelitian yang lazim digunakan dalam penelitian sosial. Oleh karena itu secara keliru setiap penelitian hukum dimulai dengan hipotesis sebagaimana layaknya penelitian sosial.
            Dalam hal demikian, penelitian hukum dimaksudkan tidak lebih untuk memperoleh kebenaran empiris atau lebih tepat dikatakan sebagai keniscayaan. Inti dari penelitian semacam ini adalah untuk menguji sejauh mana teori hukum dapat diterapkan dalam suatu masyarakat dan apakah aturan-aturan hukum tertentu dipatuhi oleh anggotaanggota masyarakat. Apabila pengembangan ilmu hukum dilakukan dengan melakukan penelitian semacam ini, tidak dapat dielakkan bahwa ilmu hukum telah dibawa untuk menjadi studi perilaku yang hal ini bertentangan dengan hakikat ilmu hukum itu sendiri.
            Di samping itu meskipun para sarjana yang melakukan studi-studi semacam itu tidak secara terbuka menyatakan dalam menetapkan konsep hukum yang ia gunakan untuk bekerja, tidak dapat dibantah bahwa mereka berpegang kepada konsep Austinian. John Austin memandang hukum semata-mata sebagai perintah penguasa. Oleh karena itulah hukum dipandang sebagai perintah untuk melakukan sesuatu atau tidak melakukan suatu perbuatan tertentu yang didukung oleh paksaan fisik yang akan dijatuhkan kepada siapa yang tidak menaati ketentuan itu. Pandangan itu tidak dapat menerangkan ketentuan yang tidak bersifat perintah atau larangan, seperti misalnya ketentuan mengenai usia cukup umur. Sebenarnya, sanksi bukan merupakan unsur yang esensial dalam hukum. Sanksi merupakan unsur tambahan. Ada beberapa hukum yang tidak dilekati dengan sanksi. Ketentuan mengenai usia cukup umur yang elah dikemukakan adalah suatu contoh ketentuan yang tidak dilekati sanksi.
            Unsur yang esensial dalam hukum adalah penerimaan masyarakat terhadap aturan hukum itu sehingga aturan itu mempunyai kekuatan mengikat. Konsep hukum sebagai suatu perintah yang didukung oleh paksaan fisik merupakan konsep yang sangat diwarnai oleh hukum pidana. Konsep semacam itu dengan sendirinya mengabaikan bidang-bidang hukum lainnya. Oleh karena itulah dapat dikatakan bahwa pendekatan sosial terhadap hukum yang berpangkal pada pandangan Austinian sejak semula sudah keliru.
            Pernyataan dalah suatu ilmu deskriptif adalah mengenai apa yang terjadi. Pernyataan itu juga merupakan pernyataan tentang fakta. Baik ilmu-ilmu alamiah maupun ilmuilmu sosial hanya berhubungan dengan gejala yang dapat diamati secara empiris. Apa yang ingin dicapai oleh ilmu-ilmu deskriptif adalah keniscayaan (truth). Konsekuensinya, sistem nilai, yaitu sesuatu yang bersifat seyogyanya atau seharusnya (should atau ought) dan gagasan yang bersifat preskriptif tidak masuk bilangan ilmu sosial maupun ilmu alamiah.
Oleh karena itulah dapat dikemukakan bahwa istilah the science of law atau legal science tidak tepat. Secara etimologis, kata “law” dalam bahasa Inggris mempunyai dua pengertian, yaitu :
1.                Kata “law” diartikan sebagai serangkaian pedoman untuk mencapai keadilan. Dalam bahasa Latin disebut ius, bahasa Perancis droit, bahasa Belanda recht, dan dalam bahasa Jerman Recht.
2.                Kata “law” merujuk kepada seperangkat aturan tingkah laku untuk mengatur ketertiban masyarakat. Dalam bahasa Latin disebut lex, dalam bahasa Perancis loi, dalam bahasa Belanda wet, dan dalam bahasa Jerman Gesetz.
            Mengingat science diidentifikasi sebagai studi empiris, Jan Gijssels and Mark van Hoecke menghindari menerjemahkan kata bahasa Belanda Rechtswetenschap menjadi legal science. Ia secara tepat menganjurkan Rechtswetenschap menjadi jurisprudence. Dalam hal ini jurisprudence didefinisikan sebagai suatu pengetahuan yang sistematis dan terorganisir mengenai gejala hukum, struktur kekuasaan, norma-norma, hak-hak dan kewajiban-kewajiban.
         Jurisprudence dapat didefinisikan secara luas sebagai semua yang bersifat teoretis tentang hukum. Jurisprudence juga berarti metode studi hukum dalam arti umum. Studi tersebut bukan mengenai hukum suatu negara pada suatu waktu tertentu. Di samping itu, jurisprudence sebenarnya bukan sekedar studi hukum, melainkan lebih dari itu merupakan studi tentang hukum. Validitas aturan hukum, keadilan, prosedur standar penerapan hukum dan masalah-masalah internal hukum merupakan bagian yang esensial dari jurisprudence.
       Dengan demikian dapat dikatakan bahwa titik anjak dalam mempelajari hukum adalah memahami kondisi intrinsik aturan-aturan hukum. Hal inilah yang membedakan antara ilmu hukum dengan disiplin-disiplin lain yang objek kajiannya juga hukum. Disiplin-disiplin lain tersebut memandang hukum dari luar. Studi-studi sosial tentang hukum memandang hukum sebagai gejala sosial. Dengan melihat kondisi intrinsik aturan hukum, ilmu hukum mempelajari gagasan-gagasan hukum yang bersifat mendasar, universal, umum, dan teoretis serta landasan pemikiran yang mendasarinya. Landasan pemikiran itu berkaitan dengan berbagai macam konsep mengenai kebenaran, pemahaman dan makna, serta nilai-nilai atau prinsip-prinsip moral.
           Ilmu hukum memandang hukum dari dua aspek yaitu hukum sebagai sistem nilai dan hukum sebagai aturan sosial. Dalam mempelajari hukum adalah memahami kondisi intrinsik aturan hukum. Hal inilah yang membedakan ilmu hukum dengan disiplin lain yang mempunyai kajian hukum disiplin-disiplin lain tersebut memandang hukum dari luar. Studi-studi sosial tentang hukum menmpatkan hukum sebagai gejala sosial. Sedangkan studi-studi yang bersifat evaluatif menghubungkan hukum dengan etika dan moralitas.
          Ilmu hukum modern mengawali langkahnya ditengah-tengah dominasi para pakar dibidang hukum yang mengkajinya sebagai suatu bentuk dari perkembangan masyarakat sehingga dasar-dasar dari ilmu pengetahuan hukum terabaikan hal inilah yang menjadi obyek kajian penulis, karena sekarang banyak sarjana hukum menganggap kajian hukum berada pada tatanan kajian peraturan perundang-undangan (legislative law) bukan pada tatanan jurisprudensi, hal tersebut dikarenakan masuk kajian empirik kedalam ilmu hukum sebagai dasar kajian. Tugas ilmu hukum dalam hal ini jurisprudence adalah menemukan prinsip-prinsip umum yang menjelaskan bangunan dunia hukum.


Referensi,
Deduktif: pengumpulan data-data yang ada hubunganya dengan tulisan ini yang dimulai atau yang bersifat umum menuju kehususan yang menyangkut penulisan.
https://id.wikipedia.org/wiki/Jurisprudensi
Buku-buku Filsafat Hukum





Read more...

Jumat, 18 September 2015

Makalah Hukum Internasional






KATA PENGANTAR

Dengan adanya tugas makalah ini saya buat untuk memenuhi tugas dari mata kuliah hukum internasional, maka dengan ini saya membuat rangkuman  makalah perkuliahan.
             Ini merupakan intisari yang saya rangkum mengenai hubungan hukum internasional dengan hukum nasional , untuk memenuhi tugas yang diberikan kepada bapak dosen, mohon maaf bila ada kekurangan dalam tugas makalah ini.  Akhirul kata, Mudah-mudahan makalah ini bermanfaat.



Indralaya, 14 september 2015
                        Penyusun,

                                                                        Raka tri portuna










DAFTAR ISI
                                                                                              Halaman
KATA PENGANTAR....................................................................... i
DAFTAR ISI..................................................................................... ii

BAB I PENDAHULUAN ............................................................... 1
          1.1       Latar Belakang ........................................................... 1
          1.2       Rumusan Permasalahan ............................................. 2
          1.3       Tujuan ........................................................................ 2
          1.4       Manfaat....................................................................... 2

BAB II PEMBAHASAN................................................................. 3
          2. 1       Tempat hukum internasional dalam tata hukum secara                                                                             keseluruhan................................................................ 3
          2. 2.       Primat hukum internasional menurut praktik
                        internasional.............................................................. 5
          2. 3.       Hubungan antara hukum internasional dan hukum 
                        nasional menurut hukum positif negara.................... 6
      BAB III HUBUNGAN HUKUM INTERNASIONAL DENGAN HUKUM NASIONAL.................................................................................................... 7
                        2. 3.     Teori-teori hubungan hukum internasional dengan hukum                                                                 nasional.........................................................................................8
                             2. 4.     Hubungan hukum internasional dengan hukum nasional
                                         dalam praktik negara-negara................................................... 16
                 KESIMPULAN................................................................................. 19
DAFTAR PUSTAKA........................................................................ 20





BAB I
PENDAHULUAN
1. 1.       LATAR BELAKANG
Hubungan kerjasama yang terjadi antarnegara didorong kebutuhan satu sama lain. Adanya perkembangan globalisasi menuntut setiap negara untuk menyesuaikan diri. Setiap negara harus menjalin hubungan dengan negara lain untuk dapat saling melengkapi, baik hubungan disektor kehidupan seperti politik, sosial, ekonomi dan lain sebagainya, maka sangat diperlukan hukum yang diharap bisa menuntaskan segala masalah yang timbul dari hubungan antar Negara. Dalam melaksanakan hubungan kerjasama tersebut tentunya diperlukan sebuah aturan yang tegas yang mengikat semua pihak yang terkait dalam hubungan tersebut.
Hukum nasional adalah sekumpulan hukum yang sebagian besar terdiri atas prinsip-prinsip dan peraturan-peraturan yang harus ditaati oleh masyarakat dalam suatu negara, dan oleh karena itu juga harus ditaati dalam hubungan-hubungan antara mereka satu dengan lainnya. Hukum Nasional di Indonesia masih menganut sistem hukum Eropa Kontinental.
Dari kondisi di atas terdapat suatu masalah yang menarik untuk dibahas lebih lanjud di dalam makalah ini yaitu mengenai hubungan di antara hukum HI dan HN.






1. 2.       PERMASALAHAN
1.      Sejauh mana hubungan hukum  internasional dan hukum nasional?
2.      Dimana letak/tempat hukum  internasioal dala tata hukum seara keselurhan?
3.      Bagamana kedudukan hukum internasional dalam tata hukum pada umumnya, menurut praktik Di negara Inggris, Amerika Serikat, dan Indoesia!
4.      Manfaat mempelajari hubungan hukum  internasional dan hukum  nasional?



1. 3.       TUJUAN
·         Mempelajari dan memahami mengenai hubungan  hukum  internasional dan hukum nasional.
·         Mempelajari praktek-praktek hubungan hukum internasional dengan hukum nasional di beberapa Negara.
1. 4.       MANFAAT
·         Dapat mengerti dan mengaplikasikan dalam berbagai kasus yang dihadapi terutama di Indonesia.




BAB II
PEMBAHASAN

2. 1.     Tempat hukum internasional dalam tata hukum secara keseluruhan
             Seperti juga banyak persoalan lain, jawaban yang dapat diberikan terhadap persoalan hubungan antara hukum internasional dan hukum nasional banyak bergantung darimana kita memandang persoalan itu atau dengan perkataan lain bergantung dari sudut pandang si pembahas. Kita mengetahui bahwa dalam teori ada dua pandangan tentang hukum internasional pandangan yang dinamakan voluntarisme, yang mendasarkan berlakunya hukum internasional ini pada kemauan negara dan pandangan objektivis yang menganggap ada dan berlakunya hukum internasional ini lepas dari kemauan negara. Pandangan yang berbeda ini membawa akibat yang berbeda pula karena sudut pandangan yang pertama akan mengakibatkan adanya hukum internasional dan hukum nasional sebagai dua satuan seperangkat hukum yang hidup berdampingan dan terpisah, sedangkan pandangan objektivis menganggapnya sebagai dua bagian dari satu kesatuan perangkat hukum. Erat hubungannya dengan apa yang diterangkan tadi ialah persoalan hubungan hirarki antara kedua perangkat hukum itu, baik merupakan dua perangkat hukum yang pada hakikatnya merupakan bagian dari satu keseluruhan hukum yang sama.
             Menurut paham dualism ini yang bersumber pada teori bahwa daya ikat hukum internasional bersumber pada kemauan negara, hukum internasional dan hukum nasional merupakan dua sistem atau perangkat hukum yang terpisah satu dari yang lainnya. Alasan yang diajukan oleh penganut aliran dualisme bagi pandangan tersebut diatas didasarkan pada alasan formal maupun alasan yang berdasarkan kenyataan. Diantara alasan-alasan yang terpenting dikemukakan hal sebagai berikut :
1.      Kedua perangkat hukum tersebut yakni hukum nasional dan hukum internasional mempunyai sumber yang berlainan, hukum nasional bersumber pada kemauan negara dan hukum internasional bersumber pada kemauan bersama masyarakat negara.
2.      Kedua perangkat hukum itu berlainan subjek hukumnya, subjek hukum dari hukum nasional ialah orang perorangan sedangkan subjek hukum dari hukum internasional ialah negara.
3.      Sebagai tata hukum, hukum nasional dan hukum internasional menampakkan pula perbedaan dalm strukturnya.
4.       Perbedaan daya laku hukumnya.
      Paham monisme didasarkan atas pemikiran kesatuan dari seluruh hukum yang mengatur hidup manusia. Akibat pandangan monisme ini ialah bahwa antara dua perangkat ketententuan hukum ini mungkin ada hubungan hirarki. Ada pihak yang menganggap bahwa dalam hubungan antara hukum nasional dan hukum internasional yang utama adalah hukum nasional. Paham ini adalah paham monisme dengan primat hukum nasional. Paham yang lain berpendapat bahwa dalam hubungan antara hukum nasional dan hukum internasional yang utama ialah hukum internasional. Pandangan ini disebut dengan paham monsme dengan primat internasional. Menurut teori monism kedua-duanya mungkin. Pandangan yang melihat kesatuan antara hukum nasional dan hukum internasional dengan primat nasional ini pada hakikatnya menganggap bahwa hukum internasional itu bersumber pada hukum nasional. Alasan utama anggapan ini ialah :
a.       Bahwa tidak ada satu organisasi diatas negara-negara yang mengatur kehidupan negara-negara didunia ini.
b.      Dasar hukum internasional yang mengatur hubungan internasional terletak dalam wewenang negara untuk mengadakan perjanjian internasional, jadi wewenang konstitusional. Kelemahan dasar ialah bahwa paham ini terlalu memandang hukum itu sebagai hukum yang tertulis semata-mata sehingga sebagai hukum internasional dianggap hanya hukum yang bersumberkan perjanjian internasional, suatu hal sebagaimana diketahui tidak benar. Kelemahan kedua ialah bahwa pada hakikatnya pendirian paham monisme dengan primat hukum nasional ini merupakan penyangkalan terhadap adanya hukum internasional yang mengikat negara.

2. 2.     Primat hukum internasional menurut praktik internasional
            Praktik hukum internasional memberikan cukup bahan atau contoh bagi kesimpulan bahwa pada masa dan tingkat perkembangan masyarakat internasional dewasa ini hukum internasional memiliki wibawa terhadap hukum nasional untuk mengatakan bahwa pada umumnya hukum internasional itu ditaati dan hukum nasional itu pada hakikatnya tunduk pada hukum internasional. Sebagai contoh dapat dikemukakan bahwa pada umumnya negara-negara didunia ini saling menghormati tanpa batas atau garis batas lainnya yang memisahkan wilayah negara yang satu dari yang lainnya. Dengan lain perkataan, negara-negara menaati hukum internasional mengenai batas wilayah negara sebagai suatu hukum yang mengikat dirinya dalam pergaulan dengan negara lain, khususnya dengan negara-negara tetangganya. Usaha mengubah perbatasan negara dengan jalan kekerasan merupakan suatu hal yang dewasa ini hamper tidak lagi dilakukan. Contoh lain kaidah hukum internasional yang umumnya ditaati ialah hukum yang mengatur perjanjian internasional antarnegara. Pada umumnya, negara-negara menaati kewajiban yang bersumber pada perjanjian internasional dengan negara lain. Disini pun sekali-kali hal terjadi penyimpangan dari keadaan umum ini dan seperti juga dalam hal hukum internasional mengenai perbatasan wilayah, pelanggaran demikian sering menarik banyak perhatian sehingga terlupakan kenyataan praktik hukum internasional dibidang ini yang sebenarnya, yaitu bahwa pada umumnya negara-negara didunia menaati perjanjian internasional yang telah diadakannya dengan negara lain.

2. 3.     Hubungan antara hukum internasional dan hukum nasional menurut hukum positif negara.
            Masalah hubungan antara hukum internasional dan hukum nasional secara umum dan praktik beberapa negara termaksud Indonesia, bagaimanakah kira duduk persoalan hubungan antara hukum internasional dan hukum nasional itu menurut hukum positif negara. Dalam beberapa hal tertentu terutama dalam keadaan kita turut serta dalam suatu konvensi yang mengandung berbagai perubahan dan pembaharuan, kelalaian demikian memang bisa menimbulkan keadaan yang kurang diinginkan orang, terutama para petugas dilapangan tentu berpegang pada ketentuan perundang-undangan yang ada (dan belum) diubah yang didasarkan atas konvensi yang lama, sedangkan sebagai negara kita sudah resmi terikat pada konvensi yang baru.






BAB III
HUBUNGAN HUKUM INTERNASIONAL
DENGAN HUKUM NASIONAL

            Seperti kebanyakan orang ketahui bahwa selain adanya hukum nasional yang mengatur dan berlaku di suatu Negara juga terdapat hukum lain yang lebih tunggi yang mengatur hubungan antara Negara- negara. Adanya hukum internasional dan hukum nasional ini juga menjadi pokok bahasan yang menarik untuk di bahas yang mana dalam kaitan antar keduanya ada sekelompok-sekelompok orang yang mempertanyakan tentang keberadaan kedua hukum tersebut apakah keduanya terpisah dan dapat dikatakan berdiri sendiri-sendiri atau keduanya merupakan bagian dari suatu sub system yang lebih besar yaitu tatanan system hukum yang lebih besar lagi.

          Hubungan hukum internasional dengan hukum nasional dapat dilihat dari dua segi, yakni segi teoritis dan segi praktis. Kedua segi ini terlihat pada persoalan-persoalan berikut:
a)      persoalan ilmu hukum tentang hubungan di antara kedua sistem hukum; dan
b)      persoalan praktik, yakni mengenai pengaruh dari masing-masing sistem hukum terhadap yang lainnya.
          Persoalan yang pertama (a) persoalan teoritis, yaitu hubungan hukum internasional dengan hukum nasional sebagai  bagian dari sistem hukum pada umumnya, sebagai hukum yang efektif dan benar-benar hidup dalam kenyataan. Yang kedua (b) persoalan praktik, yang dapat kita jumpai pada, misalnya, apakah perjanjian atau kebiasaan internasional berlaku seluruhnya dalam hukum nasional? Apakah ada pengaruh hukum nasional terhadap hukum internasional? Jawaban atas pertanyaan ini dapat ditemukan dalam praktik berbagai negara.
2. 3.     Teori-teori hubungan hukum internasional dengan hukum nasional
            Teori-teori tentang hubungan hukum internasional dengan hukum nasional berkaitan erat dengan pandangan mengenai dasar keberadaan dan berlakunya hukum internasional.
          Ada dua teori mengenai keberadaan dan berlakunya hukum internasional, yakni teori voluntaris dan obyektivis. Menurut voluntarisme ada dan berlakunya hukum internasional karena kemauan negara. Sebaliknya, menurut obyektivist ada dan berlakunya hukum internasional terlepas dari kemauan negara.
          Perbedaan pandangan ini menimbulkan akibat yang berbeda pula. Pendapat pertama, membawa akibat bahwa hukum internasional dan hukum nasional merupakan dua perangkat hukum yang berdampingan dan terpisah. Sedangkan yang kedua, beranggapan bahwa keduanya merupakan bagian dari satu kesatuan sistem hukum. Akibat berikutnya, adalah persoalan peringkat di antara kedua perangkat hukum itu.
          Dengan demikian, maka persoalan hubungan hukum internasional dengan hukum nasional menimbulkan dua teori. Teori-teori tersebut adalah teori monisme, dan dualisme.
          Menurut teori dualisme, hukum nasional dan hukum internasional merupakan sistem yang terpisah. Keduanya,  tidak  memiliki  hubungan  saling  mengatasi  dan membawahi. Keduanya mengatur hal yang sama, yang satu tidak mendasari yang lain. Pendukung utama dari teori ini adalah Triepel dan Anzilotti, dua orang penulis positivist. Para penganut positivist memandang mengikatnya hukum internasional didasarkan pada kemauan negara. Oleh karena itu, wajar jika mereka memandang bahwa hukum internasional dan hukum nasional merupakan dua perangkat hukum yang masing-masing berdiri sendiri.
          Hukum internasional menurut teori dualisme, secara mendasar berbeda dengan hukum nasional dari beberapa negara. Perbedaan tersebut adalah:
·                     Pertama, berkaitan dengan sumber  hukum  internasional  dan  hukum  nasional. Hukum nasional bersumber pada kebiasaan yang tumbuh dalam batas wilayah negara tersebut dan undang-undang yang dibuat oleh pengundang-undang. Hukum internasional bersumber pada kebiasaan yang tumbuh di antara negara-negara dan perjanjian yang membentuk hukum yang ditandatangani oleh negara-negara itu;
·                     Kedua, berkaitan dengan hubungan yang diatur oleh kedua sistem hukum tersebut. Hukum nasional mengatur hubungan orang perorangan di bawah kekuasaan suatu negara dan hubungan negara dengan orang perorangan. Di lain pihak hukum internasional mengatur hubungan antar negara;
·                     Ketiga, berkaitan dengan muatan dari kedua hukum itu. Hukum nasional adalah hukum mengenai kedaulatan negara, sedangkan hukum internasional adalah hukum antar negara-negara berdaulat ~ bukan hukum yang mengatasi negara-negara itu, karenanya merupakan hukum yang lemah.

          Alasan-alasan yang agak berbeda dikemukakan oleh Mochtar Kusumaatmadja. Menurut Mochtar Kusumaatmadja, para penganut aliran dualisme mengemukakan alasan-alasan: (1) sumber hukum kedua perangkat hukum itu berbeda, hukum nasional bersumber pada kemauan negara sedangkan hukum internasional bersumber pada kemauan bersama negara-negara, (2) subyek hukum keduanya berlainan. Subyek hukum dari hukum nasional adalah orang perorangan baik dalam hukum perdata maupun publik, sedangkan hukum internasional subyeknya adalah negara; (3) strukturnya berbeda. Lembaga-lembaga yang diperlukan untuk melaksanakan hukum, seperti mahkamah dan organ-organ eksekutif   di dalam kenyataannya hanya ada di dalam lingkungan hukum nasional. Dan, daya berlakunya atau keabsahan kaidah-kaidah hukum nasional tidak terpengaruh oleh kenyataan bahwa kaidah hukum nasional itu bertentangan dengan hukum internasional. Dengan kata lain, hukum nasional tetap berlaku secara efektif sekalipun bertentangan dengan hukum internasional.

          Pandangan dualisme tersebut menimbulkan akibat-akibat sebagai berikut:
1.      Kaidah-kaidah atau perangkat-perangkat hukum  yang satu tak mungkin bersumber atau berdasar pada kaidah yang lain. Jadi, tidak ada persoalan hirarchi antara kedua sistem hukum tersebut, karena kedua sistem hukum tersebut pada hakikatnya berlaian, tidak saling tergantung, dan yang satu terlepas dari yang lain.
2.      Tak mungkin ada pertentangan antara kedua sistem hukum tersebut. Yang mungkin hanya penunjukan (renvoi).
3.      Agar dapat berlaku dalam lingkungan hukum nasional, hukum internasional harus ditransformasikan ke dalam hukum nasional.
         
Sekalipun menentang teori dualisme, Sir Gerald Fizmaurice juga berpendapat bahwa sebagai sistem hukum, hukum internasional dan hukum nasional tidak bertentangan. Ini, karena lingkungan belakunya berbeda. Masing-masing menempati kedudukan tertinggi di bidangnya. Namun, hukum internasional dan hukum nasional bisa menimbulkan pertentangan kewajiban. Ketakmampuan negara bertindak  dalam bidang dalam negeri sebagaimana diharuskan hukum internasional tidak mengakibatkan tidak sahnya hukum nasional tetapi hanya menimbulkan tanggung jawab negara di bidang internasional.
1. Teori Dualisme
Anggapan dari teori ini adalah hukum internasional dan hukum nasional itu adalah merupakan dua bidang hukum yang berbeda satu sama lain. Perbedaan yang mencolok yaitu tenang subjek hukum,sumber hukum,ruang lingkup dan lain-lain.Dari segi sumber hukum teori ini menyimpulkan bahwa hukum nasional itu terletak pada kehendak Negara sedangkan hukum internasional itu berdasarkan kesepakatan antar berbagai Negara. Sedangkan bila di tinjau dari ruang lingkupnya hukum nasional itu mengatur hubungan yang terjadi dalam batas-batas wilayahnya,sedangkan hukum internasional itu mengatur hubungan antar Negara.
         
Alasan-alasan yang dikemukakan para penganut teori dualisme memiliki kelemahan-kelemahan, yakni:
a)      Pendapat yang menyatakan sumber hukum adalah kemauan negara tidak tepat. Ada dan berlakunya hukum terlepas dari kemauan negara. Yang jelas hukum itu ada dan berlaku karena diperlukan oleh kebutuhan manusia yang beradab. Tanpa hukum, kehidupan yang teratur tidak mungkin terwujud. Hal ini berlaku pula dalam hukum internasional. Jadi, adanya hukum hanya merupakan prasyarat bagi adanya kehidupan manusia yang teratur terlepas dari keinginan para subyek hukum itu untuk terikat.
b)      Berlainannya subyek hukum antara hukum internasional dengan hukum nasional juga tidak tepat. Sebab, dalam satu lingkungan hukum pun subyeknya bisa saja berlainan. Di dalam hukum nasional misalnya, ada perbedaan antara subyek hukum di bidang hukum perdata dan hukum publik. Juga, tidak tepat menyatakan bahwa subyek hukum internasional adalah negara. Sebab, selain negara, orang perorangan pun pada masa sekarang bisa menjadi subyek hukum.
c)      Perbedaan berdasarkan struktur juga tidak tepat. Sebab, persoalan struktur hanya merupakan persoalan gradual bukan hakiki. Perbedaan ini hanya menunjukkan gejala dari tahap integrasi masyarakat nasional dan internasional. Sebagai masyarakat, masyarakat nasional telah mencapai taraf perkembangan yang lebih tinggi dibandingkan dengan mayarakat internasional. Oleh karena itu, bentuk-bentuk organisasinya pun lebih bekembang dan lebih sempurna. 
d)     Pemisahan mutlak hukum nasional dan hukum internasional tidak dapat menjelaskan dengan memuaskan kenyataan dalam praktik, yakni hukum nasional tunduk atau sesuai dengan hukum internasional. Adanya hukum nasional yang bertentangan dengan hukum internasional bukan merupakan bukti kurang efektifnya hukum internasional.

          Selain para penulis positivist, teori dualisme ini didukung pula oleh para penulis lainnya dan secara tersirat juga oleh para hakim pengadilan. Namun, berbeda dengan alasan yang dikemukakan para positivist mereka terutama memandang adanya perbedaan empiris dalam sumber formal kedua sistem hukum tersebut. Di satu pihak, hukum internasional sebagian besar terdiri dari hukum kebiasaan dan traktat; dan, hukum nasional di pihak lain, terutama terdiri dari hukum buatan hakim (judge made law) dan undang-undang.

Dalam perkembangannya pertanyaan mendasar tersebut melahirkan beberapa teori yaitu :
            Menurut teori ini hukum nasional dan hukum internasional hnyalah merupakan bagian saja dari suatu hukum yang lebih besar yaitu hukum pada umumnya. Menurut paham ini semua hukum yang kita kenal adalah merupakan suatu kesatuan yang sifatnya mengikat. Apakah mengikat individu maupun mengikat subjek-subjek hukum lainnya, semuanya itu adalah merupakan suatu kesatuan hukum yaitu hukum yang berlaku bagi umat manusia. Tokoh yang terkenal yaitu Hans Kelsen. Monisme ini sebenarnya merupakan perwujudan dari ajaran hukum alam yang memandang hukum sebagai suatu yang berlaku umum dan abstrak serta berlaku dimana-mana,dan berlaku satu hukum bagi seluruh umat manusia di dunia.

Pendapat dari teori ini cenderung berpandangan kondisi “ideal”. Maksudnya disini adalah kelompok ini menyatakan bahwa hukum internasional lebih tinggi kedudukannya dari pada hukum nasional suatu Negara. Jadi kondisi ideal yang dimaksudkan adalah jika hal ini diterapkan pada Negara-negara di dunia maka akan terwujud suatu kondisi ketertiban dan kedamaian dalam masyarakat internasional.
2.      Teori Monisme       
Aliran kedua, yaitu aliran monisme menyatakan bahwa hukum internasional dan hukum nasional merupakan satu kesatuan yang saling terkait dari satu bentuk sistem hukum yang lebih besar. Menurut penganut teori monisme, semua hukum merupakan satu kesatuan tunggal yang mengikat negara-negara, orang-perorangan ataupun kesatuan-kesatuan bukan negara.
          Aliran ini menolak semua alasan yang dikemukakan penganut aliran dualisme. Ada beberapa alasan yang dikemukakan untuk menyangkalnya. Pertama, bahwa  kedua sistem hukum tersebut mengatur tingkah laku orang-perorangan. Bedanya, hanya pada lingkup tingkah laku yang diatur oleh kedua sistem hukum tersebut. Kedua, paham monisme menegaskan bahwa lingkup kedua bidang hukum itu terutama adalah subyek hukum terlepas dari kehendak mereka. Ketiga, kedua sistem hukum itu merupakan perwujudan dari satu konsepsi tentang hukum.

          Akibat  dari pandangan paham monisme tersebut, adalah adanya hubungan peringkat (hirarkhi) antara kedua perangkat hukum tersebut. Dalam kaitan dengan persoalan peringkat ini, aliran monisme dapat dibedakan atas aliran monisme dengan pengutamaan pada hukum nasional (monisme dengan primat hukum nasional) dan aliran monisme dengan pengutamaan pada hukum internasional (monisme dengan primat hukum internasional).
          Menurut paham monisme dengan pengutamaan hukum nasional, dalam hubungan antara hukum nasional dan hukum internasional yang utama adalah hukum nasional. Sebaliknya, menurut paham monisme dengan pengutamaan pada hukum internasional, yang utama adalah hukum internasional.
          Dalam pandangan paham monisme dengan pengutamaan (primat) pada hukum nasional, hukum internasional tidak lain dari kelanjutan hukum nasional, atau hukum nasional untuk urusan luar negeri (Auszeres Staatsrecht). Pandangan ini pada hakikatnya memandang bahwa hukum internasional bersumber pada hukum nasional.


          Untuk mendukung teorinya, para pemuka aliran ini (antara lain Max Wenzel dari mazhab Bon), mengemukakan alasan-alsan sebagai berikut:
1.      tak ada satu organisasi pun di atas negara-negara yang mengatur kehidupan negara-negara di dunia;
2.      dasar dari hukum internasional terletak pada wewenang negara-negara untuk mengadakan perjanjian internasional. Jadi, merupakan wewenang konstitusional.

 Paham ini memiliki kelemahan-kelemhan, yakni:
1.      Terlalu memandang hukum sebagai hukum yang tertulis saja, sehingga melihat hukum internasional hanya pada hukum yang bersumber pada perjanjian internasional. Pandangan ini, jelas tidak benar. 
2.      Pendirian yang mengutamakan hukum nasional daripada hukum internasional merupakan penyangkalan terhadap hukum internasional yang mengikat negara-negara. Karena menggantungkan berlakunya hukum internasional pada hukum nasional sama saja artinya dengan menggantungkan berlakunya hukum internasional pada kemauan negara. Keterikatan ini bisa ditiadakan  jika negara tersebut menarik kehendaknya untuk terikat pada hukum internasional. Dalam hal ini paham monisme dengan pengutamaan pada hukum nasional memiliki simpulan yang tidak jauh berbeda dengan paham dualisme.
          Sebaliknya, paham monisme dengan pengutamaan pada hukum internasional menyatakan bahwa hukum internasional memiliki peringkat yang lebih tinggi daripada hukum nasional. Hukum nasional tunduk pada hukum internasional, dan kekuatan mengikatnya pada hakikatnya berdasarkan pendelegasian wewenang dari hukum intrnasional. Paham ini dikembangkan oleh mazhab Wina (Kunz, Kelsen dan Verdross) dan disokong oleh aliran yang berpengaruh di Perancis (Duguit, Scelle dan Burquin). Teori-teori   ini  pun  tidak  luput dari kelemahan-kelemahan. Adapun kelemahan-kelemahannya adalah:
1.      Pandangan yang menyatakan bahwa hukum nasional tergantung pada hukum internasional sama saja dengan menyatakan bahwa hukum internasional lebih dahulu ada dari pada hukum nasional. Ini tidak sesuai dengan kenyataan. Justeru sebaliknya. Dalam  sejarah hukum nasional lebih dahulu ada daripada hukum internasional.
2.      Kekuatan mengikat hukum nasional diperoleh dari hukum internasional atau merupakan derivasi daripadanya, juga tidak benar. Kenyataannya, wewenang suatu negara sepenuhnya termasuk wewenang hukum nasional.
          Dengan demikian, maka baik paham monisme dengan pengutamaan pada hukum nasional maupun paham monisme dengan pengutamaan pada hukum internasional keduanya tidak mampu memberikan penjelasan yang memuaskan. Pandangan dualisme yang menyatakan bahwa kedua perangkat hukum tersebut sama sekali terpisah, tidak masuk akal, karena pada hakikatnya menyangkal adanya hukum internasional. Dan paham monisme yang mengaitkan tunduknya negara pada hukum internasional dengan persoalan hubungan subordinasi dalam arti Struktural organis juga tidak masuk akal, karena tidak sesuai dengan kenyataan.
3.      Teori transformasi, Deligasi, dan Haromonisasi
            Menurut teori-teori ini hukum internasional dan hukum nasional harus dipandang sejajar dalam hal kedudukannya serta adanya hubungan natara satu dengan yang lain .

2. 4.          Hubungan hukum internasional dengan hukum nasional dalam praktik negara-         negara
       Tinjauan teoritis hubungan hukum nasional dengan hukum internasional ternyata tidak memberikan jawaban yang memuaskan. Oleh karena itu, kita sebaiknya melepasakan diri dari persoalan-persoalan yang bersifat teoritis, dan melihatnya dari sudut praktik.

          Didalam praktik, banyak contoh yang menunjukkan bahwa hukum internasional memperlihatkan  kewibawaannya  terhadap  hukum  internasional. Pada umumnya, hukum internasional itu ditaati. Kepatuhan negara terhadap hukum internasional karena untuk mengatur hubungan negara diperlukan hukum internasional.
          Memang,   dalam    kenyataan   sehari-hari   acap terjadi pelanggaran terhadap hukum internasional. Namun, dibandingkan dengan penaatan terhadap keseluruhan hukum internasional, maka pelanggaran tersebut jauh lebih rendah tingkat keacapannya dibandingkan dengan pelanggaran yang terjadi.
          Dalam hukum humaniter internasional misalnya, acap terjadi pelanggaran. Pelanggaran-pelanggaran itu berupa pemboman desa-desa atau kota yang tak dipertahankan, serangan terhadap penduduk sipil, perlakuan tidak baik terhadap tawanan perang, perkosaan, penyiksaan dan lain-lain tetapi kita harus melihatnya secara keseluruhan. Dengan mempertimbangkan semua kasus bahwa jiwa manusia bisa diselamatkan karena para petempur (combatant) masih memiliki rasa kemanusiaan sesuai dengan hukum humaniter.

          Hal-hal lain yang memberikan petunjuk ditaatinya hukum internasional pada umumnya, seperti ketentuan mengenai perbatasan, perjanjian internasional, perlakuan terhadap orang asing dan hak miliknya. Akan tetapi, tidak berarti bahwa aturan-aturan hukum internasional mengenai hal tersebut tidak pernah dilnggar. Pelanggaran sesekali terjadi. Oleh karena itu, pelanggaran ini lebih tepat dikatakan sebagai pengecualian atas penaatan hukum yang pada umumnya dipatuhi.
          Tegasnya,  hukum internasional pada umumnya ditaati oleh masyarakat internasional. Dalam menerapkan hukum internasional dalam lingkup nasional tersebut acap dilakukan penyeusian-penyesuain dengan hukum nasional. Penyesuaian-penyesuaian tersebut dilakukan dengan mempergunakan  berbagai macam teori. Teori-teori tersebut adalah, teori koordinasi, inkorporasi, transformasi, delegasi, harmonisasi dan filterisasi. Berdasarkan teori-teori ini, hukum internasional tidak perlu dipertentangkan dengan hukum nasional, tidak perlu dipersoalkan mengenai pringkat, dan tidak perlu dipisahkan secara tegas satu dengan lainnya.

          Teori koordinasi dapat disimpulkan dari pendapat Fitzmaurice dan Rouseau. Menurut Fitzmaurice, hukum internasional dan hukum nasional tidak bertentangan, karena keduanya berlaku dalam lingkup yang berbeda. Yang ada, hanyalah pertentangan kewajiban. Kewajiban negara dalam bidang nasional untuk bertindak dengan cara yang diharuskan oleh hukum internasional. Tidak dilaksanakannya kewajiban ini tidak berakibat tidak sahnya hukum nasional, tetapi hanya berupa tanggung jawab negara di bidang internasional. Sebagai hukum koordinasi, hukum internasional menurut Rousseau tidak menetapkan pencabutan sertamerta hukum nasional yang bertentangan dengan hukum internasional. Para penulis ini, mengutamakan praktik daripada teori.
          Teori transformasi menekankan segi perubahan dan penyesuaian (baik bentuk maupun isinya) hukum internasional dengan kondisi hukum nasional suatu negara. Berdasarkan teori ini, hukum internasional itu berlaku jika sudah dialihkan ke dalam hukum nasional. Pengalihan ini dilakukan dengan cara pengundangan hukum internasional tersebut ke dalam hukum nasional. Dengan cara ini, hukum internasional akan berlaku efektif di suatu negara.
          Menurut teori delegasi negara memiliki hak untuk menerima keberadaan hukum intenasional. Negara diberi wewenang untuk menerima dan menolaknya. Teori harmonisasi menekankan pada segi-segi keseimbangan atau keserasian antara hukum nasional dengan hukum internasional. Dengan pendekatan ini hukum internasional dan hukum nasional tetap terpelihara kewibawaannya. Teori filterisasi tetap mengakui keberadaan hukum internasional tetapi di dalam pelaksanaannya dilakukan penyaringan guna disesuaikan dengan kepentingan nasional negara-negara bersangkutan.
          Hukum internasional, merupakan bagian dari hukum nasional. Demikian menurut teori inkorporasi. Selanjutnya, bagaimana penerapan hukum internasional pada tataran nasional, akan diuraikan dalam praktik yang diterapkan diberbagai negara.






BAB  III
KESIMPULAN

Menurut teori Dualisme, hukum internasional dan hukum nasional, merupakan dua sistem hukum yang secara keseluruhan berbeda. Hukum internasional dan hukum nasional merupakan dua sistem hukum yang terpisah, tidak saling mempunyai hubungan superioritas atau subordinasi. Berlakunya hukum internasional dalam lingkungan hukum nasional memerlukan ratifikasi menjadi hukum nasional. Kalau ada pertentangan antar keduanya, maka yang diutamakan adalah hukum nasional suatu negara.
Sedangkan menurut teori Monisme, hukum internasional dan hukum nasional saling berkaitan satu sama lainnya. Menurut teori Monisme, hukum internasional itu adalah lanjutan dari hukum nasional, yaitu hukum nasional untuk urusan luar negeri. Menurut teori ini, hukum nasional kedudukannya lebih rendah dibanding dengan hukum internasional. Hukum nasional tunduk dan harus sesuai dengan hukum internasional. (Burhan Tsani, 1990; 26)
Berangkat dari pentingnya hubungan lintas negara disegala sektor kehidupan seperti politik, sosial, ekonomi dan lain sebagainya, maka sangat diperlukan hukum yang diharap bisa menuntaskan segala masalah yang timbul dari hubungan antar negara. Hukum Internasional ialah sekumpulan kaedah hukum wajib yang mengatur hubungan antara person hukum internasional (Negara dan Organisasi Internasional), menentukan hak dan kewajiban badan tersebut serta membatasi hubungan yang terjadi antara person hukum tersebut dengan masyarakat sipil.




 DAFTAR PUSTAKA

Kusumaatmadja, Mochtar., Pengantar Hukum Internasional, Bina Cipta, Bandung, 1982.


Read more...

Lorem ipsum

Dolor sit amet

About Me

Hukum © Layout By Hugo Meira.

TOPO